Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang bisa dikatakan kuno. Penerapan sistem demokrasi telah terjadi di Yunani Kuno pada abad ke-6 sampai ke-3 SM. Demokrasi yang diterapkan saat itu disebut sebagai demokrasi langsung. Disebut demikian karena untuk membuat keputusan atau kebijakan politik dilaksanakan secara langsung oleh seluruh warga negara saat itu. Demokrasi langsung dapat dilaksanakan dengan efektif karena pada saat itu jumlah wilayahnya terbatas yang hanya terdiri dari negara kota. Selain wilayahnya yang terbatas, jumlah penduduknya pun sedikit yaitu sekitar 300.000 penduduk.

Mengacu pada akar katanya, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demosyang artinya rakyat dan kratosyang artinya pemerintahan. Dengan kata lain, demokrasi merupakan pemerintahan yang berdasarkan pada kehendak rakyat atau adagium terkenalnya yaitu pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pemerintahan yang berdasarkan pada kehendak rakyat tadi menunjukkan bentuk formalnya pada abad ke-19 dengan hadirnya demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional berarti membatasi kekuasaan pemerintahannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Oleh karena pembatasan atas kekuasaan pemerintah termaktub dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (Budiardjo, 2007: 107). Melalui konstitusi, kehendak rakyat direpresentasikan berdasarkan pemecahan lembaga negara ala trias politica.

Indonesia sendiri menganut demokrasi yang berdasarkan Pancasila, masih terdapat berbagai tafsiran mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya. Namun yang tidak dapat disangkal adalah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional tersirat di dalam UUD 1945 yang belum diamendemen. Selain itu Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan dua prinsip mengenai sistem pemerintahan Indonesia, yaitu: pertama menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dan kedua menyatakan bahwa pemerintahannya berdasar pada sistem konstitusi (Budiardjo, 2007: 106).

Dari penjelasan singkat mengenai demokrasi tersebut, kita tahu bahwa demokrasi pada intinya bertujuan untuk mencegah kekuasaan absolut dan membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang. Salah satu upaya untuk mencegah kekuasaan absolut tersebut, demokrasi mendasarkan pemerintahannya pada kedaulatan rakyat atau kehendak rakyat. Namun kita tahu bahwa negara tidak pernah sepenuhnya merealisasikan kehendak rakyat tersebut. Selalu ada suara-suara yang tidak terdengar, tidak dihitung dan bahkan kehadirannya seolah tidak dianggap oleh negara. Suara-suara yang tak terdengar ini sesekali akan mengganggu kestabilan negara. Karena bagaimanapun mereka pada waktu tertentu akan mengupayakan agar kehadirannya didengar dan dianggap oleh negara. Upaya tersebut bisa dilakukan melalui kritikan, melalui gerakan atau aksi, dan lain-lain. Dengan adanya upaya-upaya tersebut secara tidak langsung menunjukan bahwa demokrasi mengandung ketidakstabilan.

Jika kita merunut penyebab awalnya, ketidakstabilan hadir ketika ada suara rakyat yang tidak didengar. Lalu suara-suara ini dapat dipastikan pada waktu tertentu akan mencoba menunjukan kehadirannya supaya didengar oleh negara. Pertanyaan kemudian yang muncul “apa yang menjadi penyebab munculnya suara-suara yang tidak didengar itu?” atau lebih jauh lagi “apa yang akhirnya menjadikan demokrasi tidak stabil?” Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang akan dijadikan titik berangkat refleksi dalam tulisan ini. Jawaban akan coba diajukan dengan menggunakan teori ontologi milik Alain Badiou.

Teori Ontologi Badiou

Sebelum lebih jauh melangkah membahas pemikiran Badiou, alangkah baiknya kita berkenalan dengan beberapa pemahaman dasar tentang himpunan. Karena Badiou sendiri menggunakan himpunan sebagai alat penunjang pemikirannya. Himpunan adalah kelompok dari objek-objek yang berbeda, baik itu objek abstrak atau riil yang didefinisikan secara jelas. Notasi yang biasa digunakan untuk menyatakan himpunan salah satunya dengan cara tabulasi (daftar) seperti “G = {2, 4, 6, 8}” adalah himpunan bilangan genap pertama.

Ada dua relasi yang mendasari seluruh himpunan, relasi tersebut adalah relasi keanggotaan atau anggota dan ketercantuman atau bagian. Relasi keanggotaan dinotasikan dalam bentuk Î, sedangkan relasi ketercantuman dinotasikan dalam bentuk . Untuk memperjelas kedua relasi tersebut, mari kita ambil contoh dengan pengandaian berikut. Andaikan himpunan “A” adalah keseluruhan makhluk hidup dan himpunan “B” adalah semua jenis ikan hiu. Himpunan-himpunan tersebut dapat diubah ke dalam bentuk berikut:

A = {makhluk hidup}

B = {semua ikan hiu}

Berdasarkan pengandaian tadi, anggota himpunan A bisa dinotasikan dengan relasi keanggotaan sebagai berikut: kucing Î A, ikan paus Î A dan lain-lain. Sedangkan untuk anggota himpunan B dinotasikan menjadi B ⊆ A atau B merupakan himpunan bagian dari A. Karena mengacu pada definisi himpunan bagian yaitu B ⊆ A ↔ ∀ 𝑥 ∈ B ⇒ 𝑥 ∈ A yang artinya “B merupakan himpunan bagian dari A jika dan hanya jika seluruh anggota B merupakan anggota A”. Kita semua tahu bahwa semua jenis ikan hiu termasuk ke dalam makhluk hidup.

Sekarang kita akan mulai membahas pemikiran Alain Badiou. Titik berangkat pemikiran ontologi Badiou dimulai dengan pembahasan antara “satu atau jamak”. Persoalan ini intinya mengemukakan bahwa menurut para filsuf sebelum Badiou, kita tidak bisa memikirkan yang jamak tanpa melalui yang-satu. Lalu, kejamakan dianggap hadir didahului oleh yang-satu, artinya yang-satusebagai substansi merupakan penghasil kejamakan. Bagi Badiou sendiri, pemikiran demikian tidaklah tepat dan justru berlaku sebaliknya. Artinya, kejamakan ada terlebih dahulu sebelum yang-satu.

Pemikiran para filsuf yang lebih mengutamakan yang-satu sebagai penghasil kejamakan disebabkan belum adanya metode untuk memikirkan kejamakan dari kejamakan tanpa didahului yang-satu. Langkah lain untuk memikirkan kejamakan melalui kejamakan adalah melalui ilmu yang objeknya adalah kejamakan. Ilmu tersebut tidak lain adalah matematika. Matematika merupakan sains yang berurusan dengan bilangan dan antar relasi bilangan, atau dengan kata lain tentang kejamakan dan relasi antar ihwal yang jamak. Oleh karena itu, jika matematika adalah sains tentang yang-jamak dan yang satu-tidak ada sehingga konsekuensinya Ada itu jamak, kesimpulannya matematika adalah ontologi (Suryajaya, 2014: 105).

Ketika yang-jamak mendahului yang satu, sejatinya yang satu itu tidak ada. Ketiadaan yang-satu ini berlaku sejauh yang-satu dipahami sebagai substansi yang ada pada dirinya. Lantas, dalam pengertian yang bagaimana bila yang-satu ini bukan sebuah substansi? Yang satu ada sebagai hasil perhitungan, dalam istilah Badiou disebut count as one. Karena dihitung sebagai satu sehingga sesuatu itu dianggap sebagai satu. Dari perhitungan sebagai satu ini ada perbedaan antara perhitungan sebagai satu dan presentasi. Pembedaan ini bermakna sejauh ditempatkan dalam konteks pembahasan tentang Ada. Presentasi selalu merupakan presentasi atas yang banyak, karena yang-satu muncul sebatas hasil operasi perhitungan sesudah munculnya sesuatu, dengan kata lain sesudah presentasi (Suryajaya, 2014: 106)

Jika yang-satu ini muncul sebagai hasil perhitungan, prasyarat apa yang memungkinkan perhitungan tersebut? Prasyarat yang memungkinkan perhitungan tersebut yaitu dengan menarik perbedaan antara kejamakan konsisten dan kejamakan inkonsisten. Kejamakan konsisten menurut Badiou adalah hasil perhitungan sebagai satu, sedangkan yang inkonsisten yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi syarat atau menyediakan bagi perhitungan (Norris, 2009: 40). Dengan demikian dari kejamakan inkonsisten ini muncullah sebuah kejamakan yang tersusun oleh satuan-satuan. Sebuah kejamakan ini merupakan kejamakan yang tertata atau terstruktur. Kejamakan yang terstruktur inilah yang dalam istilah Badiou disebut situasi. Dengan kata lain definisi dari situasi adalah kejamakan adalah kejamakan yang terpresentasikan secara struktur.

Dalam konteks matematika, konsep tentang situasi tergambar dalam bentuk himpunan. Dicontohkan terdapat sebuah himpunan x yang memiliki elemen {7, 8, 9}. Elemen-elemen ini merupakan satuan-satuan yang menyusun sebuah kejamakan, dalam konteks ini sebuah himpunan x. Satuan-satuan ini bisa dinotasikan sebagai berikut: 7 Î x, 8 Î x, 9 Î x. Himpunan dapat dikatakan situasi karena masing-masing elemen dipresentasikan secara terstruktur serta terhitung dalam himpunan tersebut.

Sebuah pembahasan inti dalam tulisan ini adalah tentang selalu adanya yang tak terhitung atau yang tak terpresentasikan. Ketakterhitungan ini bisa diterangkan melalui aksioma himpunan pangkat dalam sistem himpunan Zermelo-Fraenkel. Andaikan terdapat sebuah himpunan b maka terdapat himpunan p(b). Contohnya, jika terdapat sebuah himpunan b yang berelemen atau beranggotakan {7,8,9} maka terdapatlah himpunan pangkat dari elemen b tersebut, yaitu : { (7), (8), (9), (7,8), (7,9), (8,9), (7,8,9), () }.

Jika status keberadaan elemen pada himpunan adalah presentasi, status keberadaan pada himpunan pangkat disebut bagian dan representasi. Kemudian timbul pertanyaan, dari mana munculnya (∅) atau himpunan kosong? Himpunan kosong merupakan salah satu aksioma dari sistem himpunan Zermelo-Fraenkel. Himpunan kosong merupakan himpunan yang tak memiliki elemen, dinotasikan dengan “”. Tapi dalam konteks ini kita akan mengubah himpunan kosong menjadi teorema, yang artinya bisa dibuktikan tanpa diandaikan langsung begitu saja. Himpunan kosong bagian dari b atau dinotasikan ∅ ⊆ b. Pembuktiannya dapat dibuktikan melalui kaidah definisi himpunan bagian: b 𝑥 ∈ ∅ ⇒ 𝑥 ∈ b. Dibaca sebagai “himpunan kosong adalah himpunan bagian b jika dan hanya jika setiap anggota himpunan kosong merupakan anggota b.

Berdasarkan implikasi kita akan menunjukkan bahwa b bernilai benar. Syarat ∅ ⊆ b bernilai “benar” ketika 𝑥 ∈ ∅ 𝑥b bernilai “benar”. Pembuktiannya: 𝑥 ∈ b jelas bernilai benar, kita bisa menunjukkan bahwa terdapat x yang merupakan anggota atau elemen b, x tersebut yaitu {7,8, 9}. 𝑥 ∈ ∅ bernilai salah, karena himpunan kosong tidak memiliki elemen atau anggota. Menurut tabel kebenaran implikasi, p ⇒ q bernilai benar ketika memenuhi salah satu syarat p (salah) ⇒ q (benar) = benar. Kesimpulannya, 𝑥 ∈ (salah) ⇒ 𝑥 ∈ b (benar) = benar. Dengan demikian ∅ b bernilai “benar” karena telah memenuhi syarat.

Dalam pemikiran Badiou himpunan pangkat ini menunjukkan bahwa selalu terdapat ekses atau kelebihan bagian terhadap elemen. Keterkaitan antara ekses dan kekosongan adalah, kekosongan tidak mungkin dipresentasikan dalam perhitungan sebagai satu dalam sebuah himpunan. Mengacu pada pemilahan antara kejamakan inkonsisten dan konsisten, kekosongan ini sama dengan kejamakan inkonsisten. Dikatakan sama karena, sebelum perhitungan sebagai satu yang ada hanyalah kekosongan itu sendiri atau dan kekosongan adalah pra-perhitungan. Keberadaan ekses terhadap elemen dalam disebut juga sebagai status situasi atau dapat disebut juga sebagai metastruktur. Fungsi dari metastruktur ini adalah menyediakan tempat bagi kekosongan, manifestasinya bisa kita lihat dengan merepresentasikan kekosongan dalam bentuk (∅).

Relasi antara presentasi dan representasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu: normal, excrescence, dan singular. Normal adalah situasi terpresentasikan sekaligus terpresentasikan. Contoh dari situasi normal adalah alam. Excrescence atau khusus adalah situasi di mana representasi tanpa adanya presentasi. Situasi khusus ini dicontohkan dalam bentuk negara. Sedangkan singular adalah situasi ketika ada presentasi tanpa dipresentasikan (Setiawan, 2020: 20-21).

Ketidakstabilan Demokrasi

Kehadiran negara tidak bisa kita lepaskan dari adanya rakyat. Tapi kita perlu ingat bahwa pada dasarnya rakyat adalah massa atau kumpulan individu-individu yang tak terpilah, tak terhitung. Massa yang sifatnya persis seperti kejamakan inkonsisten tadi dihitung melalui mekanisme tertentu sehingga menghasilkan kategori “rakyat”. Karena proses perhitungan tersebut, rakyat dapat dikatakan sebagai elemen dari sebuah situasi. Demi menjaminnya keterhitungan total elemen dari situasi tersebut, negara berperan sebagai status situasi yang merepresentasikan atau mencantumkan seluruh elemen dari situasi tersebut. Dalam konteks negara demokrasi, keterhitungan total juga berfungsi supaya negara bisa merepresentasikan sepenuhnya kehendak dari rakyat.

Aksioma himpunan pangkat telah menunjukkan bahwa selalu terdapat ekses representasi atas presentasi. Kasus serupa juga terjadi pada negara yang berfungsi sebagai status situasi yang merepresentasikan elemennya. Tidak pernah terjadi korespondensi satu-satu antara representasi dan presentasinya, dengan kata lain selalu ada kelebihan representasi. Kategori rakyat misalkan, negara merepresentasikannya dalam “warga negara”, “dewan perwakilan rakyat”, “dewan perwakilan rakyat daerah”, “hak pilih dalam pemilu” dan yang pasti sebagai himpunan kosong ,yaitu kategori yang tak tertampung dalam berbagai representasi lain, atau kembali lagi kepada keadaan “massa”.

Dalam konteks demokrasi konstitusional, rakyat direpresentasikan sekurang-kurangnya ke dalam tiga lembaga dalam trias politica, yaitu lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari tiga lembaga tersebut muncul turunan-turunan lainnya secara hierarkis dan konsekuensinya menciptakan kembali keadaan ekses representasi atas presentasi. Ekses ini dapat dipastikan memunculkan kembali himpunan kosong.

Ketika mengaitkan wacana himpunan kosong dengan demokrasi kita akan menemukan penyebab ketidakstabilan demokrasi. Kita perlu mengingat bahwa demokrasi selalu mengidealkan pemerintahan yang mewujudkan sepenuhnya kehendak atau keinginan rakyat. Lalu rakyat dihitung melalui mekanisme perhitungan tertentu dan melahirkan situasi. Tapi kategori “rakyat” sendiri pada dasarnya adalah tak terhitung alias kejamakan inkonsisten Sedangkan di sisi lain negara selalu berusaha menjamin keterhitungan total elemen dari situasi tersebut dengan cara merepresentasikannya. Dari sinilah ketidakstabilan bermula, negara tidak akan pernah merepresentasikan secara penuh dan total, selalu ada sisa-sisa yang tak terhitung yang dinotasikan dengan himpunan kosong.

Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan yaitu, massa yang pada dasarnya adalah sesuatu yang tak terhitung, coba dikendalikan, coba dihitung secara total oleh negara melalui fungsi representasinya. Dalam negara demokrasi, massa yang telah dihitung menjadi rakyat direpresentasikan dengan beragam cara. Namun, representasi yang semula bertujuan menjamin keterhitungan total justru malah menunjukkan bahwa ada sisa-sisa yang tak terhitung (himpunan kosong) dan akhirnya menjadi penyebab gagalnya keterhitungan total, itulah ketidakstabilan yang dimaksud. Himpunan kosong ini bisa kita samakan dengan mereka yang tak didengar dan tak dianggap oleh negara tapi negara seolah-olah mengakui keberadaan mereka dengan merepresentasikannya.

Referensi

Budiardjo, M. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Norris, C. (2009). Badiou’s Being and Event A Reader’s Guide. New York: Continuum.

Setiawan, R. (2020). Subjektivitas dalam Filsafat Politik Alain Badiou dan Slavoj Zizek. Yogyakarta: IRCiSoD.

Suryajaya, M. (2014). Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Yogyakarta: Resist Book.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.