Act from duty merupakan salah satu pemikiran Kant yang menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya manusia bertindak, terutama dalam melakukan ikatan dengan masyarakat. Duty (Pfitch) dalam hal ini dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “tugas” atau “tanggung jawab”. Di sini, penulis memilih menggunakan “tanggung jawab” sebagai terjemahan dari duty, karena “tanggung jawab” dirasa lebih koheren. Kata tanggung jawab yang dimaksud berbeda dengan kata tanggung jawab yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tanggung jawab yang demikian muncul dari hukum atau kesepakatan bersama, bersifat overmacht, dan menghasilkan konsekuensi timbal balik, serta dilakukan sesuai tujuan tertentu.
Asal Usul
Bagi Kant, menolong seseorang tidak selalu merupakan tindakan moral, karena hal yang mendasarinya belum tentu berasal dari dorongan moral. Tugas tidak hanya berhubungan dengan pilihan untuk membantu atau tidak, namun jugaa merupakan tugas untuk tidak mengganggu, tidak berbesar diri, serta tugas untuk bersyukur, karena Act from duty merupakan produk dari akal budi praktis yang lahir dari kritik akal budi murni. Manusia memiliki struktur rasional yang memunculkan moralitas dan membentuk pemutusan, sebagaimana duty yang dijelaskan dalam karya-karyanya. Poin Act from duty ini membedakan filsafat moral Kant dengan para utilitarianis yang mengandaikan tujuan dari segala pilihan dan perilaku.
Moral dalam kerangka pemikiran Kant terlebih dahulu dilakukan dengan reason atau kesadaran yang kemudian menentukan kebenaran sebuah tindakan. Act from duty merupakan bentuk keharusan manusia untuk melakukan kehendak baik, dengan tantangan dan batasan subjektifnya. Konsep ini tidak banyak dibahas dalam naskah The Groundwork of Metaphysic of Morals melainkan dalam The Metaphysic of Morals. The Groundworks of Metaphysic of Morals dituliskan dengan tujuan untuk mencari dan mengembangkan prinsip utama moralitas manusia tanpa harus mengikutsertakan landasan empiris.
Dorongan yang didapatkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan, bagi Kant, memerlukan kejernihan pikiran terlebih dahulu. Poin penting dalam melakukan tindakan moral adalah dengan tidak memunculkan pamrih dalam bentuk apapun bagi pelaku. Perilaku bermoral yang demikian dapat diamati dari kriteria duty atau tugas, serta bahwa pelaku menjauhkan dirinya dari perhitungan apapun atas imbalan. Selain itu, anggapan bahwa suatu tindakan merupakan tindakan yang baik, justru bisa menjadi petaka bagi pelaku apabila ia tidak mengetahui mana yang benar atau salah.
Ciri-ciri Act from duty ialah ketika seseorang melakukan sebuah tindakan yang tidak ditujukan untuk memperoleh insentif bagi dirinya, pula tidak didorong dari ketertarikan. Namun Act from duty memunculkan dilema ketika seseorang melakukannya dengan alasan yang baik, yang dengan sengaja atau tidak memunculkan pengaruh kepada pelaku. Dalam menanggapi hal ini, Marcia Baron merumuskan empat kritik atas kondisi Act from duty.
Dilema yang pertama berkaitan dengan pengandaian kondisi pelaku, misalnya seorang dokter yang diminta mengobati tetangganya yang sedang sakit. Dokter tersebut, sesungguhnya, bersedia secara cuma-cuma untuk mengobati tetangga tersebut tanpa meminta imbalan. Karena baginya, mengobati seseorang adalah tugas dari peran yang ia emban. Jika kita mengacu dari The Groundwork, dokter tersebut tentu saja telah melakukan sebuah Act from duty. Namun The Groundwork tidak menjelaskan di mana letak kerelaan dari dokter tersebut dalam akal budinya. Atau, apakah ia melakukan pengobatan dengan sukarela atau menggerutu.
Dilema yang kedua ialah bahwa Act from duty membawa dilema ketika seseorang melakukan tindakan menolong orang lain atas keinginannya sendiri, atau bahkan dengan anggapan bahwa ia sedang melakukan tugas sekaligus memenuhi kehendaknya sendiri. Apakah keduanya termasuk dalam Act from duty atau tidak? Dalam catatan akhir Kant, akhirnya ia menjelaskan bahwa baik kondisi yang pertama dan kedua merupakan kesia-siaan.
Hal ini dapat diilustrasikan dalam potongan Bhagavad Gita di mana Sang Kresna bercerita kepada Arjuna mengenai siapa yang berbuat baik dan hendak masuk surga, serta siapa yang hanya melakukan kehendak baik. Kresna bercerita bahwa jiwa manusia yang berbuat baik karena merindukan surga akan dibawa ke planet Indra ketika mereka telah meninggal dunia. Namun setelah kerinduannya tepuaskan, mereka akan dikembalikan ke dunia dalam rupa hidup yang baru. Proses yang kita kenal sebagai reinkarnasi. Namun nasib yang berbeda akan terjadi pada jiwa manusia yang melakukan kehendak baik tanpa tujuan apapun. Bagi jiwa-jiwa ini, Kresna menghendaki mereka untuk bersama dengan Ia selamanya.
Ilustrasi ini memiliki hubungan yang sama dalam menggambarkan ide Kant mengenai Act from duty. Tindakan ini tidak dapat dilakukan dengan tujuan tertentu karena ketetapannya telah hadir seketika dengan waktu manusia hidup. Act from duty terlahir dari rasio manusia yang terbentuk sedari awal. Hal inilah yang menyebabkan Kant menolak pengetahuan sebagai sumber dari akal budi praktis. Ilustrasi pengetahuan apriori dalam filsafat moral Kant dapat digambarkan sebagai berikut:
Seorang anak kecil mengetahui bahwa mencuri merupakan tindakan yang buruk seturut dengan perkataan orang tua dan ajaran agamanya. Namun saat ia beranjak dewasa, ia membaca karya Howard Pyle yang berjudul The Merry Adventure of Robin Hood dan serial Barbarossa, kemudian menggemari tokoh-tokoh utama di dalamnya. Pemuda tersebut mengidolakan pencuri dan bajak laut. Namun ia tidak tumbuh sebagai pencuri. Pemuda tersebut masih memegang teguh nilai yang diajarkan oleh orang tua dan agamanya bahwa mencuri adalah perbuatan terlarang. Dalam pengalaman pemuda ini muncul pertanyaan, bagaimana ia dapat mempercayai apa yang diajarkan oleh orang tua dan agamanya? Seseorang akan mengatakan bahwa pemuda tersebut sekedar takut dan hormat terhadap ajaran. Namun bagi Kant, jawabannya ialah karena pemuda tersebut memiliki kritik akal budi yang telah terbangun semenjak ia lahir. Kritik ini membuat manusia mampu membedakan nilai yang baik atau buruk.
Dilema
Ketika seorang teman menyatakan rasa terima kasihnya dan mendapat balasan, “Tidak perlu dipikirkan, karena hal tersebut merupakan salah satu tugas saya.” Maka teman tersebut akan merasakan penolakan serta jawaban yang tidak menempatkannya sebagai subjek utuh. Jawaban di atas dalam masyarakat Indonesia bukan jawaban yang lazim. Hal tersebut juga berlaku dalam tradisi Barat. Berbagai kebudayaan menyatakan “Terima kasih kembali”. “Terima kasih juga”, “Sama-sama”, “You are welcome”, atau “My pleasure”. Namun dalam konsep Kant, jawaban di awal merupakan hal yang wajar karena seseorang yang tengah atau telah melakukan duty ialah yang tengah berada dalam kondisi rasional sepenuhnya. Kepenuhan rasionalitas tersebut merupakan juga bentuk dari keinginan suci, yang bukan lahir karena tujuan manusia, melainkan karena ia lahir dari pertentangan rasionalitas manusia melawan perhitungan-perhitungan atas imbalan atau konsekuensi baik.
Dengan pra-kondisi di atas, maka konsep Kant mengenai Act from duty lebih mementingkan situasi moral pelaku daripada orang lain di sekitarnya. Yakni situasi moral atas untuk tidak bergantung hanya dari sikap itu sendiri atau manfaat dari sikap tersebut, melainkan juga mempertimbangkan situasi batin pelaku tindakan tersebut.
Dilema ketiga ialah, bahwa Act from duty terlepas dari persoalan kebahagiaan orang lain, tetapi juga mengenai bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan moralitasnya. Menghadapi hal ini, konsep Kant mampu menjawabnya dengan menjelaskan bahwa Act from duty tidak dilakukan karena seseorang semata-mata perlu melaksanakan apa yang baik (atau dengan kata lain melengkapi tujuan), melainkan bahwa seseorang perlu mendorong dirinya untuk melakukan hal semaksimal mungkin. Hal ini menjelaskan mengapa perilaku seseorang yang ditujukan untuk menciptakan kebahagiaan untuk orang lain terkadang justru mendatangkan keburukan. Terlebih karena si penolong (yang hendak menciptakan kebahagiaan) merupakan orang yang tengah dilanda keinginan yang membabi-buta. Hal ini tentu saja terjadi pada batas-batas ekstrim tertentu.
Serta dilema keempat, yang terakhir, ialah bahwa pada beberapa kasus, terdapat orang yang melaksanakan Act from duty tanpa memahami terlebih dahulu apa makna Act from duty. Lord Shaftesbury menyinggung kriteria keutamaan manusia jauh sebelum Kant menulis tentang Act from duty. Bagi Shaftesbury, keutamaan manusia didapat dari kepeduliannya atas kondisi manusia lain. Namun hal penting lain yang dikemukakan oleh Shaftesbury adalah bahwa keutamaan dapat tercapai apabila seseorang juga peduli mengenai makna dari keutamaan tersebut, yang tercerminkan dari perhatian seseorang pada dorongan-dorongan dari perilaku baiknya.
Kant menyepakati kriteria keutamaan Shaftesbury yang dikemukakan di atas. Namun Kant tidak menyepakati prakondisi lain mengenai keutamaan Shaftesbury yang mengandaikan bahwa seseorang yang melakukan sebuah keutamaan, juga harus memiliki dorongan dan keinginan untuk mencapai keutamaan. Bagi Kant, keutamaan telah ada dalam diri manusia sehingga seseorang hanya perlu mengetahuinya dan berkomitmen terhadap hal tersebut. Keutamaan adalah cara manusia mencapai titik puncaknya dalam melaksanakan tugas. Berbeda dengan konsep keutamaan Aristoteles yang tidak melibatkan konflik internal dan tujuan, keutamaan Kantian menerima kondisi di mana tantangan justru muncul dalam diri seseorang itu sendiri.
Melalui penjelasan di atas, maka konsep mengenai kebaikan perlu diperjelas kembali. Kebaikan dalam diri seseorang mendorongnya mensubordinasikan orang lain dalam hukum moral, sedangkan keburukan berlaku sebaliknya. Kebaikan dalam hal ini, hanya mendorong seseorang untuk mementingkan kewajiban, di atas sekian perhitungan yang muncul, dalam tiap pilihan tindakan. Tanpa kebaikan ini, maka nilai keutamaan lain seperti keberanian justru akan menjadi senjata yang menghancurkan.
Baron mengemukakan dua kebingungan utama pada masyarakat umum mengenai Act from duty, yang pertama adalah hal yang umum bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu demi kesenangan atau kelegaan, baik bagi sesama maupun diri sendiri. Kebingungan yang kedua adalah bahwa kebaikan seringkali dilakukan untuk melengkapi kerendahan hati, dan tidak untuk memenuhi tanggung jawab moral. Hal ini menyebabkan masyarakat seakan tidak membutuhkan penjelasan mengenai tugas yang muncul dari dorongan moral Kantian tersebut. Dan dalam menghadapi beberapa dilema di atas, Baron menjelaskan bahwa Kant dalam Metaphysic of Morals menyepakati hadirnya Act from duty dalam ketulusan atau kesediaan pelaku sebagai bagian dari keutamaan manusia rasional.