Hermeneutika tidak hanya sekedar memahami teks. Sebelum teks dipahami, teks harus dibaca terlebih dahulu, yang artinya ada interaksi kerja yang dilakukan pembaca terhadap apa yang dibacanya. Setelah proses pembacaan teks selesai, pembaca tentunya bisa mengerti kesimpulan teks yang dibaca, baik kesimpulan secara garis besar maupun kesimpulan dari masing-masing bagian. Dari kesimpulan yang ditarik atas proses pembacaan itulah sebuah pemahaman muncul dan menjadi tolok ukur pembaca atas isi dari teks tersebut.
Lantas, apakah pemahaman yang telah diputuskan oleh pembaca merupakan pemahaman yang benar? Hasil pemahaman pembaca atas teks tentu saja benar, terlepas dari perspektif apapun yang menyertai pemahaman tersebut. Kebenaran atas pemahaman personal tentu menunjukkan orisinalitas pemahaman itu sendiri, karena pemahaman personal yang dipandang salah dapat dicurigai disebabkan karena pemahaman tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pemahaman yang disepakati, sebagaimana yang dikemukakan Hans-Georg Gadamer. Kebenaran yang muncul sebagai sintesa dari pemahaman yang lain sehingga menjadi kebenaran yang umum bisa dipandang sebagai bentuk kebenaran yang diinginkan atas dasar sisi pragmatisnya yang tentunya juga secara umum. Hal ini berbeda dengan pemahaman yang muncul sebagai kebenaran personal karena hanya mengedepankan kepentingan personal.
Berbagai pemahaman yang muncul atas teks tentu bisa terima sebagai sebuah alat pacu berpikir setiap pembaca. Benar atau salah, pemahaman yang ada itulah pemahaman yang bisa kita tinjau sebagai isi dari teks. Sebaliknya, pemahaman yang dipandang salah tidak lebih dari pemahaman yang kurang lengkap. Hal ini disebabkan karena pemahaman merupakan bentuk dari wawasan pembaca atas teks. Inilah yang menyebabkan beberapa pemikir hermeneutika cenderung tidak hanya serius terhadap observasi atas teks, namun juga serius atas pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan atas teks adalah dunia bagi pembaca. Ketika dunia pembaca sangat sempit atas teks, maka hasil pemahamannya terhadap apa yang dibaca menjadi kurang, karena minimnya wawasan pengetahuan yang dimilikinya.
Jika terlalu banyak pemahaman yang muncul sebagai hasil dari pembacaan atas teks, maka pemahaman tersebut menjadi sebuah pengetahuan, yang kemudian diaplikasikan dalam keseharian. Contoh sederhananya adalah ketika seseorang melihat tukang kayu membuat sebuah kursi. Pada dasarnya akan terlihat banyak proses dan alat yang digunakan. Namun, ketika kita mencoba melakukan imitasi atas apa yang terlihat, hasilnya pasti tidak akan sama. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang teks, bagaimanapun pembaca ada di pihak yang salah, karena tidak melakukan sebagaimana yang ada dalam teks. Namun, jika dilihat dari sudut pandang pembaca, maka teks yang bersalah, bukan pembaca.
Ada beberapa kesalahan teks, sehingga mencelakakan pembaca dalam memahami hingga melakukan. Pertama adalah isi dari teks tersebut. Ketika selembaran ujian mahasiswa teknik diberikan kepada mahasiswa filsafat, maka jawaban yang diberikan tidak akan mengandung rumus maupun gambar, tetapi mengandung uraian-uraian. Selain itu, jawaban yang diberikan juga mungkin tidak benar atau bahkan tidak diisi, karena mahasiswa filsafat tidak diajarkan materi mahasiswa teknik dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, kompetensi dasar atau apa yang disebut dengan wawasan pembaca tidak sinkron dengan apa yang menjadi pokok pemahaman sehingga hasil baca teks menemukan kesalahan.
Kesalahan teks yang kedua adalah dari lupanya pembaca atas teks yang kenyataannya terikat dalam satu ruang waktu yang tertentu. Pembaca dan hasil bacanya memang terikat ruang dan waktu, dan teks juga mengalami proses yang sama, apalagi teks terlebih dahulu mengalami proses tersebut. Ketika teks lahir, posisinya telah terjebak dalam fase tersebut, lebih dahulu dibandingkan dengan pembaca yang masih menunggu kehadiran teks tersebut dari pengarang. Inilah yang menyebabkan pembaca mendapati banyak sekali versi pemahaman.
Pemahaman yang semacam ini telah dibahas sebelumnya oleh Paul Cliteur, seorang hermeneutikus dari Universitas Leiden. Dirinya mencoba menjelaskan bahwa teks yang sekarang dianggap mengalami banyak sekali perdebatan sehingga melahirkan diskusi panjang dan memunculkan banyak pemahaman bukanlah kesalahan atas pembacanya, melainkan kesalahan dari teks itu sendiri yang memancing pembaca agar mendapatkan pemahaman yang salah. Dalam aplikasinya, Cliteur mempergunakan teorinya tersebut dalam aspek teologi, terutama dalam masalah pembacaan atas kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab suci. Menurutnya, tidak peduli usaha yang dikerahkan oleh pembaca, jika memang teks yang dibacanya tetap sama, maka hasil bacanya juga akan selalu sama.
Namun, teorinya tentang teks tersebut tidak hanya dapat diaplikasikan dalam aspek teologi maupun hermeneutika, melainkan juga bisa diaplikasikan dalam aspek sosial masyarakat. Sebagaimana prinsip awal hermeneutika bahwa segala sesuatu merupakan teks yang bisa dipahami, tidak hanya sebuah buku maupun poster, namun juga tutur kata setiap orang. Kata-kata membentuk teks, dan itu bisa dipahami. Karena itu perkataan juga harus bisa dipahami, karena itu termasuk pembentuk teks.
Contoh tutur kata dalam masyarakat yang perlu dipahami mempergunakan pemikiran Cliteur adalah sebagai berikut: ketika ada seorang pemuda dilihat oleh tetangganya sedang bercakap-cakap di sebuah kafe bersama seorang gadis. Lantas tetangganya tersebut kemudian menyebarkan pendapatnya bahwa kedua lawan jenis tersebut memiliki hubungan yang istimewa. Lantas, apakah pendapat tetangganya tersebut salah?
Jawabannya tentu tidak. Karena apa yang menjadi pendapat dari pembaca adalah apa yang berhasil diketahui dan dipahaminya, sehingga melahirkan hasil pemahaman yang sedemikian rupa. Sebaliknya, yang menjadi pokok persoalan adalah teks itu sendiri. Mengapa? Karena dirinya memfasilitasi pembaca agar terjebak dalam pemahaman yang menurut dirinya benar, padahal tidak sama sekali. Jika pembaca terus terpaku pada teks dengan hasil baca yang demikian, maka kesalahan pemahaman yang samar tidak akan bisa hilang dan bahkan menjadi sebuah kesalahan pemahaman yang umum.
Walaupun terlihat jika kesalahan ada pada teks, masih terdapat upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari kesalahan semacam ini. Pertama adalah meluaskan wawasan pembaca. Bertambahnya wawasan pemahaman pembaca atas informasi tentang teks yang bersangkutan memungkinkan pembaca untuk mendapatkan pemahaman yang benar. Jika teks yang bersangkutan memiliki aspek psikologi, maka pembaca harus memperluas informasi tentang tema psikologi, agar apa yang dipahaminya tentang berbagai masalah psikologi bisa membuat pemahamannya menjadi lebih baik serta meminimalisir kesalahan.
Kedua adalah teks yang “bermasalah” itulah yang harus menjelaskan dirinya sendiri. Karena kejadian yang dilakukan kedua orang itulah yang memunculkan multi-pemahaman, maka kedua orang itu juga lah yang harus menjelaskan dirinya. Hanya dengan jalan itulah, kesalahan pemahaman yang sudah umum tersebar dapat diatasi. Namun, hal ini hanya berlaku dalam memahami berbagai informasi yang ada dalam masyarakat yang disampaikan secara umum. Metode semacam ini tidak dapat dengan baik diterapkan dalam memahami teks-teks klasik. Hal ini dikarenakan teks klasik telah ditinggalkan oleh pengarang (meninggal), sehingga tidak memungkinkan pemahaman muncul dari pengarang teks tersebut. Hal ini juga berlaku bagi teks yang dilahirkan oleh pengarang yang masih hidup. Jika terdapat makna teks yang menimbulkan permasalahan, maka pengarang harus menjelaskan maksud dari teks yang menimbulkan permasalahan tersebut. Selain itu, klarifikasi atas makna teks dalam kondisi tersebut juga harus segera dilakukan oleh pengarang, karena jika semakin lama waktu kesalahpahaman akan teks tersebut hadir, maka pemahaman pengarang yang seharusnya akan berganti, seiring dengan perkembangan wawasan pengetahuan pengarang tersebut.
Pada akhirnya problematika pemahaman tidak akan pernah selesai. Pemahaman yang bermacam-macam bisa setiap saat hadir, dan memunculkan tanggapan yang pastinya beragam. Kita sebagai manusia yang mengemban tugas untuk menjabarkan pemahaman, sehingga pemahaman akan teks yang ada tidak sekedar dilihat dari kebutuhan ataupun dari kesepakatan, namun juga dari sisi kebutuhan kita sebagai makhluk yang mencoba mengedepankan kemaslahatan bersama.
Lutfi Mahendra
Lutfi Mahendra adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
- 01/02/2021
- 12/04/2022