At The Well karya Tadeusz Ajdukiewicz
At The Well karya Tadeusz Ajdukiewicz

Persoalan feminisme dalam Islam masih menjadi polemik, tulisan ini mencoba mengurai hal itu, untuk mengajukan satu persoalan fondasional: “Apakah mungkin menjadi feminis dalam Islam?” Istilah “feminis” di sini tentu secara gamblang berbeda jelas dengan “feminis muslim(ah)”. Kendati begitu, sebelum secara mendalam mengelaborasi hal itu, ada baiknya membabarkan pertanyaan-pertanyaan yang merisaukan tema utama dalam problem ini. 

Apakah benar ajaran Islam tidak bergandengan tangan atau minimalnya bersinggungan dengan pandangan-dunia feminisme? Apakah memang penolakan dari sebagian orang atas feminisme itu didasarkan pada interioritas sistem-dalam-feminisme itu sendiri atau sekadar bertumpu pada eksterioritas kebencian irasional karena feminisme secara literal dan nomenklatur bermula dari Barat? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu dijawab supaya kita sudah selesai dengan persoalan-persoalan fondasional tersebut.

Penolakan atas Feminisme

Penolakan atas feminisme dengan alasan bahwa ia datang dari Barat tentu saja irasional, tak memiliki dasar argumen yang layak dipertimbangkan. Hal itu menyembul hanya karena kebencian primordialistik yang terjadi dan terus dilanggengkan dalam pengalaman Timur vis-à-vis Barat. Dengan demikian, penolakan atas feminisme dengan bertumpu pada sentimen semacam ini tidak perlu disoroti secara serius.

Penolakan selanjutnya atas feminisme melalui modus analitis terhadap ajaran feminisme dari Barat itu sendiri, menurut saya, ada dua. Pertama, feminisme ditolak karena dipandang kemunculannya dari Barat lagi. Meskipun hal itu tampak disusupi oleh inklinasi (inclination) atau disposisi ideologis anti-Barat, sebenarnya mereka (anti-feminisme) mencoba menggaungkan bahwa Islam sendiri sudah lengkap, tidak perlu asupan atau suplemen eksternal yang malah akan membocorkan bahwa Islam ternyata bukan ajaran yang komprehensif atau serba-mencakup.

Kedua, feminisme ditolak karena beberapa poin yang menggambarkan ajaran atau pemikiran yang dikampanyekan olehnya. Beberapa ajaran atau pemikiran ini menjadi kausa penolakan karena memang secara inheren tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu seperti kampanye homoseksualitas di mana Islam secara mapan bernada sebaliknya, heteroseksualitas; anti laki-laki, yang dalam Islam laki-laki dimapankan sebagai “imam” dalam praktik konsep keluarga; anti pernikahan, yang dalam doktrin Islam, pernikahan menjadi separuh dari agama; dan antiagama, dengan mempertimbangkan bahwa semua keberatan di atas ternyata amat kontras dengan ajaran agama Islam.

Keberatan atas Keberatan

Mari kita mencoba secara perlahan-lahan menguliti satu per satu keberatan-keberatan di muka yang menolak feminisme. Untuk modus yang pertama, proklamasi bahwa ajaran Islam sudah komprehensif sehingga tidak lagi memerlukan suatu nomenklatur dari luar terkesan tradisional, atau bahkan sebenarnya konservatif. Jargon kembali ke Al-Qur’an dan hadis sekonyong-konyong menjadi alat legitimasi, yang pada akhirnya membuat kita tersesat dalam hutan pencarian penafsiran tekstual dan literal.

Galib diketahui bahwa memang setiap term atau konsep memiliki sejarahnya sendiri, begitu pula dengan term feminisme, dan sejarah itu memang datang dari dunia Barat. Pada tahun 1880-an istilah feminism dipromosikan oleh Hubertine Auclert di dalam tulisannya di sebuah jurnal Prancis, La Citoyenne, untuk memanuverkan kritik atas keunggulan dan dominasi laki-laki pada saat itu, dan untuk menyerukan hak-hak perempuan beserta emansipasinya yang dijanjikan oleh Revolusi Perancis (Badran, 2009: 242). 

Kemudian, term itu dikenal luas dan digunakan secara mendunia bagi setiap gerakan yang berpijak pada dasar emansipasi perempuan. Kendati begitu, banyak definisi atasnya kemudian muncul berpusparagam sesuai dengan siapa yang mendefinisikannya (Offen, 1988). Kemudian, pada dasawarsa 20-an seabad yang lalu, term ini muncul di Mesir dalam bahasa Arab sebagai nisā’īyah. Memang benar, term feminisme berasal dari Barat, tetapi feminisme bukanlah Barat. Feminisme Mesir berbeda dengan feminisme Barat, sebagaimana feminisme Amerika berbeda dengan feminisme Perancis (Badran, 2009: 243).

Kehadiran feminisme dalam Islam akhirnya dimanuverkan untuk mereposisi kedudukan perempuan muslimah yang pada saat itu sudah menjadi stereotip umum sebagai masyarakat kelas dua di dunia Islam setelah laki-laki muslim. Dalam konteks ini, doktrin Islam direskrutinisasi oleh para feminis muslim(ah) untuk memproduksi pemahaman-pemahaman sosiologis dan teologis yang tidak misoginis.

Jadi, di sini, bagi dunia Islam sendiri, istilah ini tidak serta merta asal dicomot dengan seluruh kandungan beserta ragam ajaran yang dimuatnya. Term “feminisme” hanyalah satu modus ekspresif dari satu semangat fundamental tentang egalitarianisme antara perempuan dan laki-laki. Sari pati dari gerakan feminisme bergumpal di situ, ditarik oleh magnet yang membuat zeitgeist bergerak ke sumbu sentripetal yang sama, tetapi kemudian tentu saja tetap akan mengalami interpretasi sentrifugal yang berpusparagam karena feminisme merupakan “pengalaman personal” dari setiap bangsa, negara, budaya, atau bahkan agama.

Maka, untuk menjawab persoalan yang pertama, kita perlu mendedahkan bahwa kita memfungsikan “feminisme” bukan sebagai satu ajaran terpisah yang mapan dan juga bukan sebagai kodifikasi doktrin baru yang dikampanyekan oleh Barat, melainkan kita mempertimbangkannya sebagai satu lensa baca universal yang dibentuk oleh semangat zaman (zeitgeist) untuk dapat bergerak menjadi masyarakat yang egaliter. Karena sebagai lensa baca, sebuah alat, maka kita tidak memahaminya sebagai ajaran tambahan untuk Islam, melainkan kita memakainya untuk dapat melihat beragam fenomena sosial, utamanya fenomena agama, dengan kaca-baca feminisme.

Islam per se, secara apologetis, tentu sudah lengkap, tetapi peralatan untuk bisa mengaksesnya dari pelbagai aspek harus terus dikembangkan sesuai dengan gerak zaman. Ketika kita tidak menggunakan lensa baca feminisme, tak dapat dielak bahwa kita dengan mudah terpeleset pada interpretasi-interpretasi yang bias gender, bahkan anti-perempuan atau misoginis, sehingga tentu saja produk pemahaman atas doktrin agama menjadi tidak egaliter, tidak menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Akan tetapi, ketika kita menggunakan lensa feminisme, proposisi-proposisi dapat diselidiki dan diuji untuk menghasilkan penafsiran proporsional yang berpihak pada pemberdayaan perempuan, tanpa sama sekali menggulingkan keberadaan laki-laki.

Kemudian, untuk menjawab persoalan yang kedua, bahwa feminisme nyatanya acap kali bertentangan dengan Islam, kita perlu mereposisi pemahaman kita atas feminisme itu sendiri. Kerap kali kita mengapkir feminisme hanya karena segera setelah kita mencerap feminisme dari produk penafsiran tertentu yang dikampanyekan oleh pihak tertentu, tepatnya sekelompok feminis yang memang bukan Islam, mungkin juga bukan teis. Produk penafsiran semacam itu tentu bukan sebuah ajaran pokok yang mesti ditaati. Memang banyak aliran dalam feminisme yang dikondisikan oleh konteks ruang-waktu dan adicita tertentu yang kemudian menentukan inklinasi interpretasinya (Tong, 2009).

Feminisme tentu bukan anti laki-laki, dan kalaupun memang benar-benar ada yang demikian, itu hanyalah satu penafsiran atas feminisme. Mengingat bahwa penafsiran semacam itu bukanlah ajaran baku atau pakem dari feminisme, tentu bagi yang tidak setuju dengan penafsiran tersebut tidak perlu sekonyong-konyong menampik feminisme an sich, melainkan cukup menampik penafsirannya semata. Sebenarnya semangat feminisme bukannya menolak laki-laki, melainkan menampik sistem patriarki yang mendominasi perempuan, yang membuat perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki.

Hal itu berlaku pula untuk penafsiran-penafsiran atas feminisme yang memang tidak sesuai dengan fondasi ajaran Islam sendiri. Sebagai seorang muslim(ah), tentu kita memanuverkan tindak penafsiran dengan horizon feminisme yang sejalan dengan doktrin Islam. Sebab mengingat bahwa feminisme merupakan lensa baca, umat Islam pun menggunakannya sebagai alat untuk menghasilkan eksegesis yang tidak lagi berbau timpang gender sebagaimana di masa klasik ketika zeitgeist itu belum menyeruak—karena memang masyarakat patriarkis di masa itu menjadi disposisi umum nyaris di seluruh belahan dunia. 

Menjadi feminis dalam Islam

Menjadi feminis dalam Islam tentu amatlah mungkin, bukan karena kita pro-Barat, tetapi karena memang kita melihat bahwa ajaran Islam tidaklah anti perempuan. Bagaimanapun, produk penafsiran yang selama ini kita temui terkesan misoginis, itu karena produk tersebut tidak menggunakan lensa baca feminisme. Feminisme sebagai zeitgeist dapat menghasilkan sistem sosial yang egaliter, yang tidak lagi memandang perempuan inferior.

Selain itu, banyak feminis dari Barat sendiri mengecam agama karena agama, terutama Islam, sangat patriarkis. Kita tidak boleh lupa bahwa kecaman itu juga merupakan satu proyeksi interpretatif perihal agama dan feminisme. Kemudian, di sini kita bukan malah tiba-tiba harus menjadi antipati terhadap feminisme yang tentu saja tampak kontraproduktif, melainkan kita mencoba melemparkan diskursus tanggapan bahwa sebagai orang yang beragama—bukan dengan nada apologetik—kita mendapati bahwa Islam dengan serius menempatkan perempuan sebagai hamba Tuhan yang secara ontologis setara dengan laki-laki.

Angga Arifka

Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.