Tentang kesia-kesiaan manusia; saya mencurigainya sebagai sebuah bentuk kesalahan tafsir. Kekeliruan yang selalu membayang-bayangi tiap hasil yang kemunculannya berbeda dengan dunia ideal. Letaknya, selalu hanya ada dalam pikiran.
Konsekuensi yang terjadi adalah perasaan tidak nyaman. Sulit atau bahkan enggan menerima realitas karena berbeda dengan idealitasnya. Kondisi mental dalam tahap ini biasa kita sebut sebagai ‘kecewa’, yang kemudian melebur dalam proses peyoratif sehingga melahirkan anak-anak pikiran bernama ‘sia-sia’.
Seperti Gregor Samsa – yang menurut dirinya, tengah berada pada tahap berkesadaran— bertanya, “Apakah semuanya menjadi sia-sia ketika aku telah berubah menjadi serangga?”
Gregor Samsa adalah tokoh fiktif karangan Franz Kafka dalam The Metamorphosis. Tokoh yang tiba-tiba saja berubah menjadi serangga. Kehidupan keluarga Samsa rapuh, hanya ditopang oleh Samsa seorang, yang selanjutnya, dikhawatirkannya akan jauh lebih sulit. Keadaan ini tentunya yang membawa beban mental kepada Samsa, bahkan ketika ia menjadi wujud jauh dari semula. Samsa yang bermetamorfosis kini hanya bisa merayap, sembunyi, bahkan sesekali dipukuli oleh ayahnya.
Adakah usahanya selama ini untuk menyelamatkan keluarganya hanya akan sia-sia jika keadaan tersebut tetap berlanjut?
Jika pertanyaan ini serius dijawab, maka kita mungkin dapat menjawab, ”Ternyata tidak demikian bukan?” Ayah, ibu, dan adik Samsa justru membuktikan bahwa mereka telah memilih untuk menikmati dunia jauh lebih baik. Lebih terlepas ketimbang sebelumnya. Dan barangkali bisa pula dikatakan, bahwa kematian Samsa yang tragis dalam bentuk serangga, hanya menjadi duka sekilas sebelum kebahagiaan yang sebenarnya hadir. Kebahagiaan yang disadari. Kebahagiaan yang dicipta.
Pada tragedi kematian Samsa, ternyata muncul sebuah anti-tesis dari dua kondisi yang berbeda. Samsa mengira bahwa kesia-siaan akan timbul tatkala dirinya tak lagi bisa menjadi manusia. Sedangkan keadaan yang hadir justru sebaliknya. Dunia tetap berjalan, ia baik-baik saja meskipun seseorang telah merasa semua menjadi sia-sia.
Tampaknya hal demikian lah yang sering luput dari pengalaman sadar manusia dalam menjalani hidup. Hidup terlampau sering berputar antara hangat dingin. Di mana kesia-siaan menjadi sebuah wujud yang pasrah dari kegagalan. Dan Kafka telah mencatatnya dengan sangat baik dalam tragedi metamorfosis yang menimpa Samsa.
Pandangan serupa mengenai hal senada juga dilukiskan secara epik dalam Mite de Sisifus karya Albert Camus. Kitab kecil para absurdis ini mengungkapkan bagaimana cara manusia memandang sebuah tragedi yang berulang-ulang. Tragedi yang melelahkan!
Agaknya tindakan Sisifus mendorong berulang-ulang batu ke puncak tebing lebih nampak seperti sebuah kutukan yang sangat kelam bagi mata dan ingatan banyak orang. Bagaimana bisa, manusia hidup dengan menjalani sebuah tindakan berulang-ulang? Hidup dalam repetisi tiada akhir? Adakah rasa jengah atas keadaan, justru menjadi landasan Sisifus melakukan tindakannya? Dan dalam begitu banyak pertanyaan pengamat, Sisifus tetap melakukan kegiatannya, menjalaninya, bahkan dengan setia mengamini keadaan yang sedemikian capai.
Dalam refleksi ini, saya mengajukan jawaban yang sedikit berbeda bahwa ternyata tak selamanya demikian. Ada sebuah cinta yang hadir pada kesia-siaan tindakan Sisifus. Ketika ia mendorong batu berulang-ulang ke puncak, Sisifus tidak serta merta memandangnya sebagai sebuah kutuk yang tak pantas untuk dihidupi. Tindakannya justru, akan terus menjadi pengingat bahwa dunia kerap mesti terus menggelinding meski segala usaha telah dilakukan berulang-ulang. Melalui kehidupan semacam ini, semestinya lahir sebuah cinta dari perkawinan antara keadaan yang menjemukan dengan harapan yang selalu menjadi anak-anak, yang selalu ingin menang.
Keadaan kontradiktif sebagaimana dijalani oleh Samsa dan Sisifus selalu menjadi penghias dari dunia yang terus sibuk berjalan. Ialah betul, bahwa dibutuhkan sebuah bentuk dan cara lain dalam memandang kehidupan. Terutama ketika kita sedang mengalami dan merasakan keadaan yang seringkali berubah menyedihkan ketimbang menyenangkan.
Dan adakah duka lain yang lebih pedih, ketimbang manusia yang menyerah dikoyak-koyak sepi. Seperti pada Sajak Sia-Sia milik Chairil Anwar.
Tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di Kota Malang. Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Malang.
- 21/04/2018
- 02/10/2018
- 15/03/2019
- 15/11/2019
satu Respon