fbpx

Transisi dari Filsafat Moral Populer ke Metafisika Moral

In Her World karya Morgan Weistling

Immanuel Kant dalam The Groundwork of the Methaphysics of Moral berusaha untuk merumuskan bangunannya mengenai metafisika moral dalam kerangka kritis. Hal ini didasari terlebih dahulu dari pandanannya mengenai filsafat moral yang diperkenalkan oleh para filosof terdahulu. Oleh sebab itu ia beranjak dari pengertian mengenai duty. Konsep mengenai duty berasal dari akal budi praktis, yang kadang kala tidak dapat menghindari adanya pengaruh pengalaman.

Kerap muncul keraguan; apakah ada tindakan kita benar-benar merupakan murni duty, yang datang dari good will dan memiliki moral worth? Pertanyaan ini mempengaruhi berbagai tindakan manusia. Muncul pertanyaan seperti; Apakah kebebasan harus diupayakan demi kebebasan itu sendiri? Ataukah demi tujuan lain yang kiranya lebih berarti? Atau contoh lain; Apakah membantu seseorang harus dilakukan demi tujuan baik bagi bersama? Ataukah demi kebaikan itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melanda sebagian besar orang, terutama yang perannya telah ditentukan oleh societas, misalnya ibu rumah tangga, tenaga pengajar, kaum intelektual, dan lain sebagainya.

Melakukan sebuah tanggung jawab menjadi satu sikap yang dapat dipertanyakan ketika terdapat dorongan-dorongan untuk melakukannya berdasarkan kecintaan terhadap diri sendiri. Bagi Kant semua sikap seperti inklinasi merupakan hal yang sesuai dengan duty. Namun kedua hal tersebut tetap berbeda karena duty tidak datang dari pengalaman, perhitungan mengenai kebaikan atau keuntungan, serta tidak bersifat instingtif. Sifat ini lahir dari pengetahuan a priori praktik akal budi murni.

Prinsip moral pada tahap tertentu hadir dari pengetahuan yang hadir melalui pengalaman, baik bertindak atau dengan mengamati tindakan. Namun bila semua dipisahkan dari semua hal empiris (dengan kata lain benar-benar a priori) maka prinsip tersebut dapat disebut sebagai yang berkesuaian dengan metafisika moral. Bertolak dari metafisika moral inilah aturan-aturan manusia harus ditata, sesuai dengan kodrat rasional manusia, dan seluruhnya muncul hanya dari praktik akal budi murni menuju praktik akal budi praktis.

Kant memberi contoh melalui kutipan 2 Kor 4:18 yang baginya lahir dari ide yang diproyeksikan nalar mengenai kesempurnaan moral, yang tidak terpisahkan dari konsep atas kehendak  bebas.

“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.”

Dengan adanya penurunan makna prinsip moral yang diperkenalkan oleh konsep populer ini, maka pengertian moral tidak dipahami secara mendasar dan hanya menawarkan observasi yang tambal sulam. Kelompok Popular philosophy yang dimaksud Kant dalam Bab II ini merujuk pada kelompok Pencerahan Jerman.

Seluruh hal di bumi berjalan sesuai dengan hukum, dan hanya rational being yang memiliki kekhususan untuk bertindak sesuai dengan representasi hukum melalui prinsip-prinsip dan kehendak. Jadi ketika tindakan diturunkan dari keharusan rasio hukum maka kehendak tidak lain merupakan nalar praktis.

Petunjuk rasio adalah representasi prinsip objektif sejauh kepentingannya untuk mengarahkan kehendak, sementara yang dimaksud Kant dengan imperatif adalah formula dari petunjuk rasio tersebut. Imperatif ditunjukkan dengan dorongan keharusan (contoh pada kata ‘pakailah’, ‘harap tertib’, ‘taatilah’, dan lain sebagainya) yang menghubungkan objektifikasi dari rasio hukum pada kehendak. Sifat imperatif ada dua yaitu hipotetikal dan kategorial. Yang dimaksud hipotetikal adalah perlunya sifat praktis sebagai tindakan yang mungkin demi mencapai hal lain yang sesuai dengan kehendak, ialah kebaikan dalam dirinya sendiri. Sementara kategorial berarti bahwa sebuah sikap perlu dilakukan demi sikap itu sendiri, tanpa referensi atau tujuan lainnya atau dengan kata lain adanya sikap yang semata-mata lahir dari hadirnya rasio.

Imperatif kategorial memiliki dua prinsip ialah problematikal dan asertorikal (tegas), sementara imperatif kategorial memiliki satu prinsip ialah apodiktif. Yang dimaksud dengan prinsip problematika ialah bahwa sikap yang telah ditata sedemikian rupa oleh nalar manusia tidak absolut dapat berlaku begitu saja namun hanya ada karena terdapat tujuan yang tidak langsung tampak. Sementara yang dimaksud dengan prinsip asertorikal ialah representasi kepentingan praktis atas sikap yang ditunjukan demi kebahagiaan, yang dilakukan berdasarkan ke-ahli­-an manusia mencapai prudence (kebahagiaan) baik bagi individu mau pun bagi dunia.

Dalam imperatif kategorial terdapat prinsip apodiktif yang merupakan kategori imperatif yang menyatakan sikap bagi dirinya sendiri sebagai hal yang secara objektif mendesak tanpa satu tujuan apapun.

Moralitas dalam pembahasan Kant ialah relasi antara aksi dan otonomi kehendak manusia, yang mampu mengatur atau menata hukum sesuai dengan maksim (prinsip kehendak subjektif). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aksi yang seseuai dengan kehendak diperbolehkan, dan tidak sebaliknya. Kehendak yang sejalan dengan hukum otonomi merupakan hal yang suci atau dapat dikatakan sebagai kehendak yang baik. Sementara itu ketergantungan kehendak yang tidak sepenuhnya baik dalam prinsip otonomi disebut sebagai obligation.

Dengan pembatasan di atas dapat dilihat bahwa seseorang dapat melakukan keberatan terhadap hukum di bahwa konsep tanggung jawab, dan di saat yang sama manusia tersebut dapat memancarkan keagungannya sebagai seseorang yang telah memenuhi tanggung jawab.  Manusia sebagai subjek dalam hukum moral tidak mengandung keagungan sama sekali, namun saat ia menata tata diri atas hukum tersebut, maka manusia tersebut nampak sebagai manusia bernalar.

Tiga hal yang mencerminkan prinsip-prinsip moralitas ialah:

  1. Sebuah Forma, yang terdiri dalam universalitas, dan formula dari imperatif moral mengekspresikan ‘bahwa maksim harus dipilih sejauh ia valid sebagai hukum alam yang universal’.
  2. Sebuah Materi, yang dinyatakan sebagai akhir, dan formulanya mengekspresikan ‘manusia rasional memiliki akhir yang sejalan dengan alam, dengan demikian ia harus menaati kondisi batasan sebagai maksim akhir yang relatif dan arbitrer’.
  3. Pembatasan yang komplit dari semua maksim, di mana semua maksim harus mengharmoniskan legislasi seseorang dalam dunia yang mungkin sebagai dunia natura.

Perkembangan dapat terjadi apabila terdapa kesatuan dari forma, pluralitas dari materi, serta totalitas dari sistem mereka. Seseorang dapat melakukannya dengan mengikuti sifat imparatif kategorial, ialah sikap yang sesuai dengan maksim. Hal ini terjadi di saat yang sama membuat dirinya sebagai hukum yang universal sebagaimana yang dijelaskan Kant dalam tiga bagian:

  • Autonomy of the Will sebagai prinsip utama moralitas

Otonomi atas kehendak adalah properti kehendak yang merupakan hukum bagi dirinya sendiri. Prinsip otonomi ialah ‘tidak memilih yang lain sehingga maksim dari pilihan seseorang di saat yang sama komprehensif dengan hukum universal.’ Prinsip ini harus imperatif kategorial, namun penentuannya tidak lebih atau kurang ialah pada otonomi ini.

  • Heteronomy of the Will sebagai asal usul  prinsip moral murni

Kehendak tidak menentukan hukum pada dirinya, melainkan objek yang berelasi dengan kehendak tersebut yang memberikan hukum. Relasi ini mensyaratkan imperatif hipotetis, dimana ‘saya harus melakukan sesuatu karena saya akan melakukan hal lain.’ Atau ‘saya tidak dapat berbohong, jika saya ingin mempertahankan nama baik saya.’ Sementara bila moral mensyaratkan imperatif kategorial maka ‘saya harus bertindak, karena dan hanya karena saya tidak mengkehendaki yang lainnya.’ Atau ‘saya tidak akan berbohong, bahkan bila saya mendatangkan kesedihan yang mendalam.’

  • Divisi seluruh prinsip moralitas yang mungkin dari kesimpulan konsep fundamental atas heteronomi

Di sinilah rasio murni mannusia digunakan. Prinsip-prinsip ini merupakan yang rasional sekaligus empirikal. Yang pertama adalah prinsip kebahagiaan yng dibangun dalam perasaan moral dan fisikal. Ke dua ialah prinsip kesempurnaan, yang dibangun dalam konsep rasional sebagai efek yang dimungkinkan, atau misal pada konsep kesempurnaan Tuhan yang menyebabkan pembatasan atas kehendak manusia. Prinsip empiris tidak pernah cocok dengan hukum moral yang berlandaskan padanya menjadikan adanya adaptasi partikular oleh kodrat manusia.

Bagaimana proposisis praktik sintetik dari a priori dapat dimungkinkan dalam otonomi kehendak, yang jelas, tidak lagi bergantung pada batasan metafisika moral. Moralitas bukanlah khayalan yang hadir dalam pikiran, yang jika diikuti dngan kategorial imperatif dan otonomi kehendak, dan benar-benar didasari dari prinsip a priori (yang mensyaratkan kegunaan sintetik yang memungkinkan bagi akal budi praktis).

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content