Bagaimana jadinya jika filsafat dan fisika saling menguatkan tesisnya satu sama lain? Bukankah itu hal yang sangat menarik? Ketika filsafat dan sains secara tidak langsung bekerja sama untuk menjelaskan rahasia alam semesta? Inilah bahasan tentang Das Ding An Sich di dalam fisika kuantum.
Das Ding An Sich
Das Ding An Sich adalah bahasa Jerman untuk benda pada dirinya sendiri dalam bahasa Indonesia. Kalimat itu dipopulerkan oleh Immanuel Kant.
Immanuel Kant sendiri adalah salah satu filsuf besar yang sangat berpengaruh dalam genealogi pemikiran filsafat barat. Filsafatnya adalah postulat titik balik, atau bisa dibilang, filsafatnya menjadi pengaruh bagi corak filsafat barat ke depannya. Das Ding An Sich adalah terminologi idealisme dari Kant untuk Filsafat Jerman, di mana para filsuf Jerman setelahnya akan berkutat pada masalah idea atau subjek.
Kant sendiri adalah seorang idealis, yang artinya, bahwa ia menganggap realitas yang ada dan kita rasakan saat ini bukanlah yang apa adanya. Realitas atau materi adalah representasi dari subjek belaka, di mana objek perlu melalui ide atau subjek terlebih dahulu untuk dikonsepkan. Selanjutnya kita memantulkan konsep itu balik kepada materi sebagai ciri atau identitas yang seolah-olah itu merupakan benda pada dirinya sendiri, yang padahal tidak sama sekali. Oleh karena itu, Kant menyatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa melihat benda pada dirinya sendiri itu, karena subjek atau idea selalu ikut serta dalam proses “screening”.
Benda pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kita ketahui. Misalnya jika kita melihat pensil; ketika kita melihat pensil itu, yang kita ketahui dari pensil adalah sekedar penampakannya saja, tapi inti daripada kebendaan pensil, yaitu noumena, tidak dapat diketahui. Pensil sebagai das ding an sich hanya terbatas pada penampakan pensil saja, ia tidak pernah bisa keluar untuk diproyeksikan kepada subjek.
Pada akhirnya, alam semesta dan benda-benda di dalamnya merupakan keadaan yang subjektif. Bahwa subjek tidak pernah bisa melihat benda pada dirinya sendiri, karena ketika ia melalui proses pengamatan, maka benda itu bukan benda pada dirinya sendiri lagi, melainkan telah menjadi benda versi si subjek.
Fisika Kuantum
Fisika Kuantum adalah cabang Fisika yang hadir pada awal abad ke 20, oleh Niels Bohr, Schrodinger, dan Heisenberg. Fisika Kuantum adalah sebuah kajian atas dunia kuantum atau dunia subatomik (di balik atom).
Teori Kuantum didasari oleh fakta bahwa alam semesta tersusun oleh atom-atom, dan di dalam atom itu terdapat elektron dan proton, dan lebih dalam lagi terdapat quarks. Dalam studi Fisika ini, kuantum sendiri adalah bagian yang lebih kecil daripada alam semesta, yaitu partikel-partikel.
Dunia yang kita alami sehari-hari atau yang sesuai dengan hukum Newton, berusaha digali lebih lanjut oleh fisikawan kuantum, di mana realitas diasumsikan tidak hanya sebagai beragam entitas yang terlihat oleh kasat mata saja, melainkan realitas itu juga termasuk entitas yang berada pada dunia subatomik, yaitu realitas kuantum, di mana segalanya serba tak menentu, dan hukum-hukumnya juga berbeda seperti apa yang kita alami sehari-hari.
Dalam kuantum, semuanya serba acak. Kuantum memiliki masalah dengan sifat-sifat partikel di dalamnya, seperti superposisi, di mana satu elektron bisa berada pada dua tempat yang berbeda pada satu waktu yang sama. Lalu ada ketidakpastian Heisenberg, di mana ketika kita berusaha untuk mengukur superposisi dari suatu elektron yang berada pada posisi berbeda, maka kita tidak dapat mengukurnya dengan pasti. Akan terjadi keadaan di mana elektron itu selanjutnya akan bergerak secara acak. lagi-lagi hal ini disebabkan karena dunia kuantum tidak sama dengan dunia kita sehari-hari yang semuanya dapat diukur dengan Hukum Newton.
Oleh karena itu, Bohr menyatakan dalam interpretasi Kopenhagen-nya, bahwa fisika kuantum adalah dunia yang berbeda dari dunia sehari-hari kita. Dunia kuantum bergerak sangat acak, dan hukum-hukum di dalamnya sangat berbeda dari teori-teori fisika yang telah ada sebelumnya. Karena itu akan mustahil untuk mengerti bagaimana dunia kuantum dapat berjalan dengan sejelas-jelasnya.
Das Ding An Sich dalam Fisika Kuantum
Terdapat eksperimen celah ganda, atau Double Split Experiment yang merupakan sebuah eksperimen atas sifat cahaya, menyoal apakah cahaya merupakan sebuah partikel atau gelombang.
Partikel adalah sesuatu yang fisik atau material, seperti tubuh kita yang merupakan fisik dan sangat jelas keberadaanya. Sedangkan gelombang ialah sesuatu yang bukan fisik, tidak dapat dimaterikan, tetapi keberadaannya hadir seperti sinyal yang merambat. Sinyal itu tidak ada materinya dan hanya eksis sebagai gelombang.
Hal tersebut diuji coba pertama kali oleh Fisikawan bernama Thomas Young pada awal abad ke-19. Dia menemukan bahwa cahaya adalah gelombang, bukan sebuah partikel yang berbentuk materi-fisik.
Pada eksperimennya itu ia mencoba untuk memancarkan cahaya pada dua celah garis, yang ditujukan pada papan untuk mengetahui bagaimana corak akhir dari cahaya. Ketika Young mengaktifkan cahaya untuk dipancarkan melewati dua celah itu, terbentuk pola interferensi, yaitu pola merambat terhadap ruang yang tersedia di sekitarnya. Dikarenakan bahwa jika cahaya adalah partikel, maka pola yang dihasilkan adalah pola partikel, bentuk yang sesuai dengan celah yang dilewati oleh partikel itu. Dalam konteks tersebut, cahaya akan berbentuk dua garis saja, sesuai dengan dua celah garis yang ia lewati sebelumnya.
Karena itu cahaya dimasukkan sebagai jenis gelombang daripada partikel oleh Thomas Young, karena dua celah yang diuji coba oleh Young itu tidak berhasil membuat cahaya berpola sesuai celah yang dilewati. Cahaya tetap akan membentuk pola interferensi, atau tidak terpengaruh oleh dua celah yang dilewatinya.
Tetapi yang menjadi menarik adalah pada awal abad ke-20, ketika Einstein menyatakan bahwa cahaya bukanlah gelombang semata, melainkan juga partikel-partikel dalam konteks satuan atau atom. Sejak saat itu dunia mengenal cahaya sebagai dualisme antara gelombang dan partikel. Disatu sisi cahaya adalah gelombang, dan di sisi lain cahaya adalah partikel.
Penemuan tersebut akhirnya dipakai oleh fisikawan kuantum untuk mempelajari sifat-sifat dunia subatomik. Fisikawan kuantum kembali melakukan eksperimen celah ganda untuk menguji cahaya sebagai partikel, apakah ia tetap membentuk pola interferensi, atau tetap sebagai pola partikel.
Temuan eksperimen tersebut cukup mengejutkan. Mereka dibuat bingung oleh cahaya sebagai partikel yang tetap membentuk pola interferensi, padahal ia bukan gelombang.
Pada uji cobanya, foton dari cahaya yang berbentuk partikel ditembakan kepada dua celah tersebut. Foton di sini adalah corak daripada cahaya yang berupa satuan partikel, sehingga para fisikawan kuantum membuat kesimpulan awal, bahwa foton yang ditembakkan itu akan membentuk pola partikel, atau mengikuti celah ganda tersebut dengan membentuk dua garis pada papan. Tetapi nyatanya foton itu tidak berperilaku seperti partikel, justru foton itu berperilaku seperti gelombang yang membentuk pola interferensi.
Satu-satunya kemungkinan adalah foton-foton tersebut dapat membelah diri di hadapan dua celah, dan akhirnya berperilaku sebagai gelombang, yang mana hal ini berada di luar nalar manusia.
Hal ini tidak hanya terjadi pada foton, ilmuwan juga mencoba elektron untuk ikut ditembakkan melewati dua celah. Tetapi hasilnya tetap sama, partikel-partikel elektron malah membuat pola gelombang, bukan pola partikel.
Lalu para ilmuwan mencoba memasang detektor di dalam eksperimen itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, menyoal alasan partikel itu dapat berperilaku seperti gelombang. Hasilnya masih tidak masuk akal, foton ataupun elektron justru membentuk pola partikel, atau berperilaku menjadi normal.
Hal ini cukup menakjubkan, karena seolah-olah, foton atau elektron yang posisinya sebagai partikel di sana justru berperilaku sebagaimana mestinya ketika sedang diawasi oleh detektor, yaitu membentuk pola partikel sesuai celah yang ia lewati, atau membentuk dua garis.
Sehingga para ilmuwan berusaha mencoba eksperimen terakhir untuk lebih memperoleh kepastian, di mana mereka kembali melepas detektor di sana, dan hasilnya benar saja, mereka malah kembali seperti kondisi yang awal, kondisi di mana foton ataupun elektron yang ditembakkan itu kembali membentuk pola gelombang interferensi.
Padahal sebelumnya, ketika detektor berada di sana untuk mengetahui apa yang terjadi, partikel-partikel berlaku secara normal. Tetapi ketika detektor tidak ada di sana, partikel berlaku secara tidak normal. Seolah-olah partikel seperti mengetahui jika sedang diawasi.
Kesimpulan
Ketika penulis mencoba untuk mempelajari dunia kuantum, dan juga mempelajari filsafat, penulis merasa apa yang dikatakan oleh Kant pada abad ke-18 telah dibuktikan oleh fisika kuantum pada abad 20. Di mana kita tidak mungkin dapat melihat benda pada dirinya sendiri. Entitas-entitas yang kita saksikan saat ini, mereka mungkin saja bergerak dan berperilaku dengan nyata, tetapi yang jadi pertanyaan adalah, apakah pergerakkan mereka benar-benar yang apa adanya? Atau jangan-jangan pergerakan mereka hanyalah sebuah ilusi ketika diamati?
Fisika Kuantum telah membuktikan bahwa peran subjekyektif dari manusia sangatlah lemah. Seolah-olah benda-benda itu tidak pernah mengijinkan kita untuk mengetahui mereka sebagaimana adanya atau seasli-aslinya, bahkan dengan bantuan peralatan modern sekalipun. Diam-diam mereka berperilaku di luar batas nalar manusia.
Filsafat Kant dan Fisika kuantum memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menyatakan, bahwa manusia atau subjek tidak tahu tentang realitas seasli-aslinya. Keduanya menjadikan fakta tersebut sebagai sandaran moral dalam kehidupan sehari-hari, untuk meyakini bahwa manusia tidak mengetahui apa-apa.