Ada sebuah narasi menarik berbunyi bahwa manusia adalah entitas yang bertanggung jawab. Narasi ini menarik mengingat bagaimana peran manusia sebagai salah satu peran sentral dalam realitas kehidupan yang absurd. Manusia sebagai entitas yang memiliki spirit sudah pasti terus mencari esensi keberadaannya di dunia. Hal inilah yang menjadi diskursus menarik dari para filsuf era modern yang mempertanyakan eksistensi, tentang ada dan tiada.

Lonjakan tingkat pemikiran pasca renaisans di Eropa membuat banyak perubahan yang signifikan pada kehidupan di dunia. Warisan penting dengan diktum “Cogito Ergo Sum” dari filsuf masyhur Descartes menandai keberadaan manusia melalui pemikiran (Rahnema, 2000).

Namun diktum masyhur tersebut seolah dimaknai secara sebagian saja. Manusia modern seolah hanya berhenti pada narasi “Cogito” yang artinya aku berpikir sebagai perjuangan mencari esensi, namun seolah lupa pada “Ergo Sum” yang bermakna maka saya ada. Problematika atas hal ini membuat kesadaran akan eksistensial mulai hadir memasuki wajah modernitas.

Pada abad XX, pembahasan eksistensialisme kian menjamur pesat di Eropa, terutama Jerman dan Prancis. Sebagai respon atas segala ketidakstabilan keadaan zaman, terutama akibat perang-perang besar saat itu menyebabkan eksistensialisme seolah menjadi suatu hal kontemplatif. Manusia ingin menyadari keberadaan eksistensinya di dunia sebagai apa?

Dari pergolakan demikian, muncul banyak filsuf yang berfokus pada pemikiran terkait pembahasan eksistensi, salah satunya adalah seorang filsuf asal Perancis bernama Jean-Paul Sartre. Tulisan Sartre begitu masyhur karena bersifat progresif dan massif yang kemudian ditunjang juga dengan sikapnya yang menasbihkan dia sebagai seorang eksistensialis murni.

Berbagai tulisan Sartre telah menggugah bangkitnya semangat kebebasan dan perjuangan di banyak negara terjajah. Kematangan tulisan dan dipadukan dengan konsep jelas tentang kebebasan dari pemikirannya menyebabkan para filsuf sesudahnya tetap menjadikan pemikiran Sartre sebagai bagian dari genealogi pemikiran mereka.

Mendengar Sartre, penulis jadi memikirkan bahwa sebuah eksistensi adalah konsep yang padu jika dikaitkan dengan keberadaan suatu entitas dalam kehidupan yang absurd, termasuk bagaimana mahasiswa dan perjuangan gerakan mereka yang kian hari mencapai titik kejenuhan. Kejenuhan tersebut bukan hanya karena alasan kondisi zaman yang menentang perjuangan mereka, namun

bisa jadi pemahaman mahasiswa akan eksistensinya menyebabkan mereka menjadi enggan untuk konsisten dalam jalan perjuangannya.

Sartre dan Eksistensialisme Humanis

Eksistensialisme humanis merupakan salah satu pemikiran Sartre yang tertuang melalui karya- karyanya. Jean Paul Sartre yang lahir pada tahun 1905 Masehi di Paris, Prancis, tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, namun juga dikenal sebagai esais, novelis, pengajar hingga penulis naskah untuk teater. Dikenal sebagai seorang atheis, Sartre dikenal juga sebagai seorang yang cerdas dan percaya diri membuatnya menjadi sosok yang eksentrik (Paul, 2001).

Di saat kecilnya, Sartre menyukai literatur akibat tinggal Bersama kakeknya yang bernama Carl Schweitzer, saudara dari Albert Schweizer seorang filsuf, dokter dan teolog penerima penghargaan Nobel. Sebagai pecinta literatur, Sartre menikmati sekaligus mengkritik pemikiran para filsuf terdahulu seperti Hegel, Kant, Kierkegaard, Husserl, hingga Heidegger. Untuk Heidegger, Sartre sangat terinspirasi pemikiran Heidegger melalui bukunya “Being and Time” yang juga membuatnya mengkritik konsep eksistensialisme ala Heidegger.

Sartre dengan pemikiran eksistensialisme humanisnya dianggap sebagai sebuah antithesis bagi pemikiran eksistensialis sebelum masanya. Adapun pemikiran Sartre tentang Eksistensialisme Humanis akan banyak membahas tentang kebebasan seorang manusia akan keberadaannya di dunia melalui 5 bagian yaitu La Nausse (Muntah), L’Etre-en-soi (Sesuatu di dirinya), Le’etre- pour-soi (Pengada yang sadar), La Liberta (Kemerdekaan), dan La’autrui (Manusia dengan manusia lainnya).

Untuk memahami pemikiran para filsuf eksistensialis, termasuk Sartre, perlu untuk mengetahui poin-poin wajib dalam pemikiran eksistensialisme. Pertama, adalah eksistensi mengikuti esensi. Dalam hal ini, ada beberapa poin kunci yaitu manusia adalah sebagai conscius atau subyek kesadaran. Sebagai subjek kesadaran maka manusia tidak akan bisa melakukan suatu hal tanpa adanya objek sehingga manusia pasti akan memiliki keterikatan dengan segala entitas dalam ruang dan waktu (Lavine, 1989).

Berikutnya adalah pemahaman tentang kemurungan. Beberapa tema dalam eksistensialisme erat berkaitan untuk menemukan entitas “aku”. Manusia akan kehilangan eksistensinya dalam hidup ketika penghayatan akan “aku” telah menghilang karena terjebak pada “engkau”. Penghayatan “aku” yang hilang pun berimbas juga pada kehilangan kemerdekaan pada seorang manusia.

Yang menjadi pembahasan setelahnya adalah terkait absurditas dan kebebasan manusia. Sartre memahami wujud tidak memiliki struktur yang rasional. Oleh karenanya struktur ketidak-jelasan ini membawa keberadaan sebagai sesuatu hal yang absurd. Kemudian membahas manusia dalam pandangan Sartre dan filsuf eksistensialisme akan menempatkan mahasiswa berada pada aspek bebas dan mampu menciptakan dirinya sendiri sebagai subjek transenden melalui penempatan dirinya dalam dimensi kebebasan atas pilihannya.

Paham eksistensialis ala Sartre menempatkan manusia pada kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang bersifat abstrak baginya hanya akan menempatkan manusia untuk tidak dapat menghayati keberadaannya sendiri dan terjerumus pada absurditas. Adapun tanggung jawab dalam kebebasan manusia bukan pada dirinya sendiri, melainkan diperuntukkan untuk semua manusia. Karena baginya, menghargai manusia berarti menghargai esensinya sendiri dalam keberadaannya di tengah absurditas. Kesadaran merupakan kunci utama dalam eksistensinya.

Pandangan Eksistensialisme Sartre atas Gerakan Mahasiswa

Mahasiswa sebagai suatu entitas yang dikenal sebagai agen perubahan dengan gerakan yang dibangun untuk kebenaran. Aktivisme mahasiswa dalam menciptakan gerakan moral, sosial ataupun politik seringkali mampu untuk mendobrak kondisi penindasan.

Tak dapat dipungkiri, catatan emas perjuangan mencatat bahwa beberapa kali mahasiswa mampu memberikan dampak hingga perubahan pada tatanan sosial masyarakat. Namun, hari ini sayangnya mahasiswa kebanyakan justru terjebak pada romantisme sejarah basi dan juga gerakan pragmatis yang salah secara orientasi.

Permasalahan utama bagi pergerakan mahasiswa hari ialah mahasiswa sudah kehilangan orientasi murni perjuangannya yang kemudian kondisi tersebut ditambah dengan tekanan dari realita seperti tekanan pengampu kebijakan yang seolah abai dengan gerakan mahasiswa hingga kisruh konflik horizontal antar gerakan mahasiswa itu sendiri. Inilah kondisi perjuangan mahasiswa, terjebak pada absurditas, ketidakjelasan yang disebabkan penghayatannya terhadap garis perjuangan semakin menurun.

Menjadi mungkin bahwa penulis muak ketika melihat kondisi mahasiswa hari ini hingga menyebabkan rasa mual dan ingin muntah, seperti apa kata Sartre, La Nausse. Sartre berpandangan bahwa La Nausse merupakan kondisi yang terjadi ketika manusia melihat kondisi kenyataan di sekitarnya menyebabkan kesadaran atas kenyataan bahwa dirinya merasakan penindasan namun

terbentur dengan kondisi yang ada dan menyebabkan rasa ingin muntah karena ketidakjelasan yang terjadi.

Mahasiswa harusnya mulai menyadari realitas dan tidak abai terhadapnya. Dalam pandangan eksistensialisme, ditekankan bahwa manusia sebagai subyek yang sadar yang kemudian perlu untuk menyadari kemuraman yang terjadi. Gerakan mahasiswa sebagai kumpulan manusia, subyek yang sadar, perlu untuk menyadari bahwa kemuraman di lingkungan mereka adalah nyata. Kesadaran akan kondisi sekitar akan menyebabkan manusia merengkuh kesadaran untuk mampu menentukan bentuk esensinya. Mahasiswa ketika telah menjadi subyek yang. Sadar, harus mampu mencapai pada titik kesadaran tentang esensinya, sebagai “aku” yang mampu menentukan kembali esensi perjuangan mahasiswa sebagai agen perubahan.

Setelah mahasiswa mencapai kesadarannya sebagai “aku” yang mampu menciptakan bentuk esensinya, maka mahasiswa akan mencapai suatu bentuk kebebasan. Manusia sejatinya berada pada aspek partikular yang bebas yang mampu menempatkan dirinya dalam dimensi kebebasan berdasarkan pilihannya sendiri.

Oleh karena itulah, sebagai manusia, para mahasiswa yang telah menciptakan keberadaanya sudah seharusnya paham bahwa dirinya adalah bentuk kebebasan. Sudah sepatutnya jika gerakan mahasiswa bersifat bebas, bebas dari apapun yang menekannya ataupun pemaksaan kehendak yang mengganggu terhadap gerakan mahasiswa yang dibangun. Maka, budaya perlawanan yang bebas dari gangguan perlu dihidupkan kembali oleh mahasiswa.

Namun perlu diingat bahwa bagi Sartre, terdapat konsekuensi atas kebebasan yang diciptakan. Kebebasan adalah kutukan bagi Sartre, karena posisi kemandirian subjek menempatkan segala konsekuensi atas segala tindakan yang berasal dari kebebasan kembali lagi kepada si subyek yang bebas.

Dalam hal ini, mahasiswa perlu memahami, kebebasan yang sudah direngkuh pada gerakan mahasiswa yang dimilikinya tentu memiliki konsekuensi yaitu kutukan. Namun, eksistensialisme Sartre juga menempatkan manusia pada tempatnya masing-masing dan konsekuensi kebebasan adalah tanggung jawab di pundak sang subjek. Menurut Sartre, tanggung jawab yang diemban bukanlah bersifat individual tetapi untuk semua manusia sebagai bentuk menghargai esensi keberadaan.

Maka dalam hal ini, gerakan mahasiswa perlu untuk terus bebas melawan penindasan dan sudah seharusnya siap terhadap segala tekanan dan gangguan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebebasan bergerak yang dimiliki mahasiswa.

Daftar Pustaka

A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius 2009)

Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga 2000) Forrest E. Baird & Walter Kaufman, From Plato to Derrida, (USA: Prentice Hall, 2003) Frederick Copleston, S. j., Contemporary Philosophy Studies of Logical and EXistentialism, (London: Search Press, 1973)

John Macquarrie, Existentialism, (USA: Penguin Book, 1980)

Max Horkheimer and Adorno, Dialectic of Enlightenment; Philosophical Fragment,(USA: Stanford Univ. Press, 2002)

Mudji Sutrisno, Drijarkara Filsuf yang Mengubah Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2006) Paul Strathern, 90 Menit Bersama Sartre, (Jakarta: Erlangga, 2001)Sartre, Essays in Existentialism; Existentialism is Humanism, (USA: Citadel Press, 1965) TZ. Lavine, From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, (USA: Bantam Books, 1989)

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.