Peran Sigmund Freud dalam memahat wajah baru bagi peradaban manusia bukan lagi hal yang dapat diperdebatkan. Implikasi pemikirannya dengan mudah kita dijumpai, entah pada sesi konseling, ruang-ruang kelas, lingkar diskusi informal, bahkan obrolan remeh-temeh sekalipun. Beberapa diantaranya jelas terjadi tanpa disadari, sebab sudah menjadi terlalu lumrah. Sebut saja perlakuan-perlakuan, seperti menggunakan terminologi id, ego, dan superego untuk menggambarkan interaksi mental, menerima adanya distingsi—atau, pemisahan—atas alam sadar dan tidak sadar, serta meyakini hubungan sikap antipati atas hubungan seksual dengan trauma masa kecil yang sejatinya tak ubah dengan upaya sadar untuk menginternalisasikan ide-ide psikoanalisa Freud.
Bila masih terkesan eksklusif, toh, ide-ide Freud juga dapat lebih luas dinikmati melalui media hiburan populer. Berbagai film mulai dari yang paling lawas, seperti Spellbound (1945), Marnie (1964), Annie Hall (1977), The Science of Sleep (2006), hingga yang terbaru, sebut saja Black Swan (2010) dan Joker (2019), terang-terangan mengambil referensi dari pemikiran Freud.
Di tengah eksploitasi ide besar-besaran tersebut, muncul sebuah masalah baru: pemikiran Freud menjadi terbiaskan. Berapa banyak dari kita yang benar-benar memahami Freud—bukan layaknya sebuah persona—sebagai suatu gerak psikoanalisa? Berapa lembar, dari total dua puluh tiga volume tulisannya, yang secara intensif pernah dibaca? Mampukah kita mengorkestrasi banyaknya gagasan Freud, terutama soal seksualitas dan kematian, menjadi suatu harmoni tersendiri? Apabila tidak, pantaslah dimaktubkan bahwa digunakannya ide-ide Freud sebagai sebuah referensi secara konstan, justru membuat pokoknya jarang dipahami secara utuh dan menyeluruh. Upaya bagi pembakuan ide-ide Freud saja sudah bukan hal yang baru. Salah satunya yang dilakukan oleh Beverly Clack.
Pembakuan yang dilakukan oleh Clack dilakukan dengan tekanan-tekanan fenomenologis. Upayanya dalam membentuk Freud sebagai suatu tema pemikiran tersendiri, bukan hanya untuk memberi penjelasan mengenai adagium dan tema-tema besar Freudian, melainkan juga menyingkap motivasi dan perkembangan ide-ide Freud. Kecenderungan tersebut paling tampak dalam mini-summa-nya, yang sekaligus menjadi pengantar kritis bagi freudianisme: Freud on the Couch.
Disusun dari enam bagian besar, konstruksi Clack pada Freud on the Couch diawali dengan pendekatan paling sederhana: perihal siapa itu Freud dan apa latar belakangnya. Pendekatan semacam ini terbukti cukup fungsional dalam memperkenalkan Freud—yang adalah manusia dengan banyak pengaruh eksternal. Beberapa ide khas Freud memang memiliki kaitan dengan kehidupannya sehari-hari, masa kecil dan pendidikannya. Kita dapat melihat bagaimana absennya figur seorang ayah dalam kehidupan Freud, diindikasikan menjadi awal dari terbentuknya ide bahwa terdapat kecenderungan pada seorang anak untuk membunuh orang tua dengan jenis kelamin yang sama, dan memiliki ketertarikan seksual dengan orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Atau, selanjutnya dikenal sebagai oedipus complex, salah satu teori Freud yang paling dikenal. Selain itu, beberapa metode yang Freud gunakan selama mengatasi kasus-kasus histeria, ternyata juga tidak lepas dari pengaruh luar. Terutama, kolaborasinya dengan beberapa praktisi medis lain.
Theodor Meynert dan Jean-Martin Charcot, adalah dua dari sekian banyak pengaruh tersebut. Masing-masing dari mereka adalah direktur pada klinik psikiatri di Wina dan rumah sakit jiwa Salpêtrière, Paris. Dari Charcot, Freud mengembangkan metode penulisan (bila boleh disebut sebagai psikografis, walau tidak serta merta mencerminkan arti penulisan psikologis) dan analisis yang berfokus pada pengelaborasian beberapa literatur sumber sekaligus. Secara tidak langsung, Freud mengambil jarak dari diagnosa biologis, dan beralih hampir sepenuhnya kepada penjelasan-penjelasan psikologis. Suatu langkah yang justru bertentangan dengan gerak sains dan epistemologi, pada zamannya, yang cenderung mengutuk psikologisme, karena dianggap penuh konseptualisasi.
Tidak terbatas pada pengaruh-pengaruh subtil—seperti oleh Meynert dan Charcot— merupakan hal yang menarik untuk meninjau bahwa gagasan-gagasan terpenting Freud juga dibentuk melalui metode kolaborasi. Bersama Josef Breuer, misalnya, Freud merumuskan pokok-pokok penyebab histeria. Keduanya beranggapan bahwa histeria diakibatkan oleh adanya kesadaran untuk menekan perasaan atau emosi tertentu. Mengikuti hal tersebut, histeria tidak lagi dianggap sebagai suatu penyakit yang diakibatkan oleh dorongan immoral, sebab tendensinya justru untuk menjadi pribadi yang, mungkin, tunduk pada kekangan norma—sehingga harus memendam perasaan dan ide-ide pribadi yang mungkin sukar diterima.
Menimbang beberapa contoh tersebut, Freud bisa saja ditafsirkan sebagai pribadi yang banal: pengaruh kepada dirinya diambil terlalu literal, tanpa ada proses eksaminasi atau penentuan motif secara mandiri. Freud hanya mengambil gagasan dan kebiasaan dari rekan sekerjanya, dan cukup dengan itu pembaca dapat dengan bangga mengatakan bahwa dalam diri Freud terdapat orkestrasi ide yang megah. Namun, nyatanya tidak demikian. Mengapa?
Mimpi, sebagai salah satu ide pokok Freud, menjelaskan bagaimana kondisi lingkungan di sekitar, dapat menjadi pengaruh yang mendorongnya kepada kontemplasi dan ide-ide orisinil. Diawali dari peristiwa kematian sang ayah, Freud merasakan suatu kontradiksi emosi baru. Kendati diyakini bahwa ayah bagi Freud bukanlah sosok paling ideal baginya (lantas berpengaruh pada teorinya perihal oedipus complex), kehilangan seorang ayah pada usia menuju paruh baya jelas menghasilkan perasaan subtil tertentu. Spektra perasaan yang kacau tersebut lantas membawa Freud pada gagasan mengenai interpretasi mimpi. Freud meyakini bahwa dengan menafsirkan materi mimpi, manusia dapat menyingkap keinginan bawah sadar, dan mendapatkan pengetahuan interpersonal yang lebih baik.
Walau acap kali dianggap sebagai ilmu semu, menjadi suatu kajian yang menarik untuk memahami bahwa teori mimpi tersebut dapat difungsikan sebagai pintu masuk dalam membaca Freud dengan lebih utuh. Sebelumnya, penting bagi kita untuk terlebih dahulu menilik Freud—beserta segala pengaruhnya yang telah dijabarkan—dalam tiga periode yang terpisah. Pada periode awal, sekitar tahun 1880, Freud berfokus pada studi akan kasus-kasus histeria. Tulisan-tulisannya dalam periode ini lebih berorientasi pada hubungan antara luapan emosi dan peristiwa-peristiwa traumatis—bagaimana hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu gejala gangguan mental. Sedangkan, sepanjang periode yang lebih progresif, Freud mengembangkan teori yang lebih bersifat topografis. Tujuan dari studinya kini beralih untuk memetakan medan pikiran menjadi sistem sadar, prasadar, dan tidak sadar. Sebelum akhirnya bergeser kembali untuk memetakan struktur pikiran dengan model id, ego, dan superego; model yang paling dikenal hingga saat ini (kurang lebih sekitar tahun 1923).
Dengan memahami distingsi antara pemikiran Freud sepanjang zaman, berikut fakta bahwa teori mengenai interpretasi mimpi berada dalam tahap awal studinya, kita dibawa pada dua pilihan untuk membaca Freud. Apabila ide-ide awal Freud hendak dipahami sebagai hal yang tidak definitif, melainkan hanya berfungsi sebagai pemantik menuju teori yang lebih mapan—pemikiran semacam ini wajar saja terjadi, toh, model topografi Freud yang masih relevan untuk digunakan secara praktis memang berada pada masa-masa akhir studinya—maka, Freud dapat dibaca sebagai seorang psikolog praktis yang progresif, sebagaimana umum dipandang dalam tradisi psikoanalitik Inggris. Sebaliknya, apabila yang ingin diamini adalah tradisi psikoanalitik Prancis, yang banyak berfokus pada bagaimana menjelaskan fenomena mental tertentu, sehingga beberapa pembabakan tersebut berada dalam horizon yang sama penting—atau justru cenderung berpihak pada teori-teori awal Freud. Maka, Freud dapat dipandang sebagai praktisi hubungan antara manusia dan peristiwa, sementara tulisan-tulisannya dapat dibaca dengan nada yang lebih eksistensialis.
Tidak dapat dipungkiri, Beverley Clack memang terkesan tendensius dengan menerima Freud sebagai seorang psikoanalis progresif. Namun, tetap meyakini bahwa gagasan-gagasan awal Freud tidak dapat dilepaskan dalam bagaimana psikoanalisis menjelaskan pengalaman-pengalaman manusia. Sedangkan, mimpi tetap dapat diinterpretasikan sejauh ia dapat mengungkapkan apa yang menjadi keprihatinan terdalam manusia.
Dari studi mengenai histeria dan mimpi, Freud tiba pada kesimpulan bahwasanya seksualitas merupakan suatu kajian penting untuk memahami manusia. Dengan membaca teori-teori Freud perihal seksualitas, kita dapat melihat siluet seorang filsuf eksistensialis: Freud beranggapan bahwa seksualitas tidak berpuncak pada kegiatan reproduksi (dan segala bentuk aktivitas seksual lain), sebab keberadaan nafsu seksual sendiri adalah semata-mata bentukan imajinasi manusia. Kita dapat melihat kesamaan pandangan antara tulisan-tulisan Freud tersebut dengan subjek Desire pada Being and Nothingness yang ditulis oleh Sartre. Hanya saja, sebagai seorang praktisi, pernyataan tersebut dibawa oleh Freud menjadi lebih teoritis dengan gagasan infantile sexuality.
Gagasan Freud tersebut menyatakan bahwa dorongan seksual tidak diturunkan begitu saja di usia remaja. Sebaliknya, dalam kondisi sedini apapun—bahkan saat bayi—manusia sudah menjadi makhluk seksual. Hanya saja, Freud memberi parameter bahwa seksualitas tersebut berkembang seiring waktu. Mulai dari tahap oral (ketika hasrat didominasi oleh kenikmatan untuk mengisap), tahap anal (ketika hasrat didominasi oleh kenikmatan untuk mengontrol otot-otot pada rektum—menjelaskan mengapa kecenderungan untuk menahan buang air besar terkadang dicap sebagai gangguan seksual), hingga tahap lingga (dimulai ketika seseorang mengeksplorasi kenikmatan seksual melalui masturbasi).
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa keberagaman topik dan kepekaan terhadap waktu menjadi ciri khas dari ide-ide Freud. Meniatkan diri untuk memahami Freud, berbeda dengan menerima pembakuan ide-idenya dalam bingkai Freudian secara legawa. Sama halnya dengan perbedaan antara memahami Marx dan menerima Marxisme—yang sudah dibakukan oleh Engels dan Kautsky. Terdapat banyak pertentangan dan pemikiran yang bisa diperdebatkan dalam diri seorang Freud. Bahkan, kepribadiannya sendiri bisa dipandang dualistik: di satu sisi masih jatuh dalam pesona warisan tradisi Yahudi serta mitos-mitos kuno (pembaca dapat melihat bagaimana faktor-faktor tersebut seringkali dijadikan rujukan oleh Freud), sementara di sisi lain juga gencar mengkritik keberadaan agama. Bagi penulis sendiri, membaca buku tulisan Beverley Clack ini boleh jadi salah satu upaya terbaik untuk memulai niat tersebut.
Referensi
Charcot, J.-M. (2013). Salpetriere: Horror Chamber of the Sexual Lunatics (J. Dodd, Ed.). Elektron Ebooks.
Clack, B. (2002). Sex and Death: A Reappraisal of Human Mortality. Wiley.
Sartre, J.-P. (2003). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.; 2nd ed.). Routledge.Wibowo, S. (2022). Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu. Kepustakaan Populer Gramedia.
Jonathan Sihotang
Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain. Pada 2023, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam riset bidang antropologi.