Masyarakat Prosumer: Perburuhan Digital pada Media Sosial

vlogger dilansir dari globalink.co.uk

Kerja menurut Karl Marx adalah hakikat dari kehidupan manusia. Melalui kerja, manusia dapat memanfaatkan dan mengubah alam untuk memenuhi kehidupannya. Tanpa kerja, tidak akan ada keberlangsungan kehidupan bagi manusia. Dalam bukunya German Ideology, Marx dan Engels (1845:47) menyatakan bahwa kerja adalah kegiatan produktif yang dilakukan secara sadar untuk mentransformasikan dan mengorganisasikan alam sehingga manusia mampu memproduksi prasyarat bagi keberlangsungan hidupnya.

Dalam masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial, kerja memiliki watak lain yang telah menimbulkan alienasi dan eksploitasi. Menurut Marx, kerja yang berhadapan dengan kapital adalah kerja yang terasing dan kapital yang berhadapan dengan kerja adalah kapital yang terasing (Marx 1857/58: 266). Keberadaan kapital bergantung dengan aktivitas dari negasi kapital, yang bentuknya bukan-kapital, yaitu kerja. Dalam teori nilai lebih, Marx beranggapan bahwa nilai-lebih adalah selisih antara waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (labour time) dan waktu kerja untuk kapital. Hasil dari nilai-lebih kerja itulah yang kemudian dinikmati oleh kapitalis sebagai kekayaan. Sehingga Marx mencapai kesimpulan bahwa kapital sejatinya dibentuk dan diperbesar oleh kerja yang bersifat eksploitatif.

Menurut Marx, perkembangan kekuatan produksi dan ilmu pengetahuan akan menghasilkan kenaikan peran teknologi. Perkembangan teknologi ini dapat memicu kenaikan produktivitas dengan waktu pengerjaan yang semakin singkat. Sayangnya, kekuatan produktif baru yang semestinya membebaskan manusia dari kerja fisik tersebut ternyata tidak untuk kemaslahatan semua orang. Tujuan pokok dalam pengembangan teknologi bukanlah meringankan beban manusia, tetapi semata-mata untuk meningkatkan daya hisap kegiatan produksi atas nilai lebih. Meminjam istilah Anthony Giddens, ekonomi kapitalis adalah ekonomi yang terus berlari mengejar bayangan kepalanya sendiri, dan di dalam sistem ekonomi seperti ini perkembangan teknologi seperti apapun justru merupakan malapetaka ketimbang juru selamat.

Dengan kemajuan perkembangan teknologi, penemuan internet pada akhir abad ke-20, telah membentuk relasi baru dalam kehidupan manusia. Salah satu pengodisiannya yang fenomenal adalah hadirnya media digital. Media konvensional yang terbatas pada ruang dan waktu perlahan digeser oleh media digital. Media digital yang tak lain adalah media sosial mengemuka menghubungkan jutaan orang pada teknologi (gawai) mereka masing-masing yang proses interaksinya dengan begitu cepat menerobos ruang dan waktu.

Media sosial dan perburuhan digital

Menurut Ritzer, masyarakat digital menjalankan peran prosumsi, yaitu peran produksi dan konsumsi, karena  selain  mengkonsumsi  informasi  melalui  teknologi  digital, masyarakat juga turut memproduksi informasi yang mereka miliki, baik apa yang mereka pikirkan, inginkan, atau sedang lakukan (Ritzer et al., 2012). Sejalan dengan Christian Fuchs yang melihat adanya kultur partisipatoris  konsumen  pada  sosial  media.  Kultur  partisipatoris  adalah kultur yang melibatkan peran konsumen secara aktif untuk memproduksi dan menyebarkan konten melalui  fitur media sosial. Tapi bagi Fuchs, kultur partisipatoris bukan hanya pembukaan terhadap  akses  tetapi  mendekati  kepada  mempekerjakan konsumen, karena kultur partisipatoris di media sosial adalah tentang ekspresi, keterlibatan, penciptaan, membagikan, pengalaman, dan kontribusi yang  secara  antagonis  sebenarnya  melibatkan  akumulasi  kapital (Fuchs 2014: 57).

Para teoritisi kapitalisme digital telah berupaya menggali peran kerja nir-material di media sosial. Hardt dan Negri (2004: 108) merumuskan kerja nir-material sebagai kerja yang menghasilkan produk nir-material seperti komunikasi, informasi, pengetahuan, dan hubungan sosial. Sejalan dengan itu, Christian Fuchs dan Sebastian Sevignani melihat aktivitas di media sosial sebagai kerja produktif—kerja membuat komoditi—yang mengasingkan manusia dalam empat sisi: keterasingan dari diri sendiri, keterasingan dari objek kerja produktif—instrumen dan objek kerja produktif, dan keterasingan dari produk yang diciptakannya (2018: 48). Keterasingan empat sisi ini membentuk keterasingan dari seluruh proses produksi yang disebabkan oleh adanya relasi kelas yang menghasilkan eksploitasi. Proses produksi yang dimaksud adalah kegiatan produksi konten di media sosial yang menjadi data bagi korporasi media sosial.

Kepemilikan sarana produksi yang mengkondisikan kepengaturan terhadap semua kebijakan platform media sosial menjadikan korporasi media sosial mengklaim kepemilikan atas data pengguna. Dengan beragam fitur yang dimilikinya, media sosial mengambil rekaman suka dan tidak suka dari aktivitas pengguna melalui klik—like, block, unfollow, unfriend, mute maupun share—di media sosial (Lotan, 2014). Keterasingan terjadi karena pengguna tidak mempunyai serta tidak dapat mengendalikan kebijakan media sosial dan mendapatkan hasil dari kerja mereka yang berupa data. Dengan pendengandalian data, relasi sosial dalam media sosial kemudian dibuat terasa seperti kegiatan bermain yang menyenangkan, namun pada hakikatnya mereka melakukan “kerja”.

Bahkan peran prosumsi dalam media sosial dapat menyebabkan eksploitasi berlipat ganda terhadap pengguna. Pengguna menjadi target pasar untuk mengkonsumsi dan memproduksi informasi mengenai produk tanpa terbayarkan dari kegiatan produksinya sendiri—baik korporasi produk yang beriklan maupun korporasi media sosial. Kondisi itu menjadi sesuatu yang jamak terjadi di era kapitalisme digital dan sering disebut sebagai kerja-bermain (playbour). Dulu, bermain dilakukan saat waktu senggang yang dapat dikatakan sebagai kegiatan tidak produktif dan terpisah dari waktu kerja. Sekarang penggunaan internet justru dipicu oleh hiburan dan kesenangan, yang tanpa sadar tidak terpisahkan dari waktu kerja yang dieksploitasi oleh korporasi media sosial.

Nilai di media sosial berarti waktu rata-rata yang dihabiskan pengguna di platform. Hukum nilai di media sosial berarti semakin banyak waktu dalam kegiatan prosumsi konten yang dihabiskan pengguna tertentu pada platform, semakin banyak pula keuntungan yang didapatkan. Rezim kapitalisme digital berupaya mendistorsi antara waktu senggang dan waktu kerja, dengan menjadikan semua itu menjadi waktu kerja. Proses ekspansi kapitalisme hingga sekarang bukan hanya terhadap alam, pun juga terhadap batas-batas ruang dan waktu. Namun sebagai pengguna, harus diakui sulit untuk melihat adanya eksploitasi tersebut. Karena seakan eksploitasi itu tidak terjadi karena dalam interaksi di media sosial pengguna lebih hanya seperti bermain pada waktu senggang di luar aktivitas kerja—kegiatan yang bersifat wajib. Juga, seakan media sosial adalah bentuk kultur partisipatoris nan demokratis jenis baru yang memiliki lebih banyak sisi progresif. 

Christian Fuchs kemudian menekankan bahwa media sosial komersial mesti diwaspadai karena media sosial komersial akan lebih fokus pada komodifikasi, dan tentu saja konten gerakan revolusioner akan bisa sangat menguntungkan sebagai komoditas pada media sosial. Karena apapun esensi kontennya, tetaplah menjadi komoditas selama tidak mengganggu kepemilikan kuasa korporasi media sosial. Media sosial komersial juga tentu tidak netral, yang sangat mungkin mengambil bagian dalam berpolitik dengan berpihak pada kepentingan kepemilikannya–alih-alih demokratis, media sosial komersil juga berpolitik dalam arena kekuasaanya sendiri.   

Jalur alternatif

Fuchs menawarkan jalan keluar dengan melakukan transformasi media sosial yang tidak dikontrol untuk akumulasi kapital melainkan dikendalikan dan menguntungkan oleh semua pengguna. Media sosial informatif yang tidak dikonsumsi untuk kepentingan kapital; internet yang dapat diakses sebagai basis teknologi dan pengetahuan, kepemilikan, kebaikan, kepentingan, kontrol bersama tanpa harus membayar—melampaui kelas sosial. Media sosial yang tidak memiliki instrumental dan penciptaan komoditas – hanya nilai guna yang memuaskan kebutuhan bersama. Fuchs pun menawarkan solusi berupa “okupasi” yang bereaksi terhadap situasi kapitalisme neoliberal dengan mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milik bersama dengan komunikasi tatap muka, atau pun media sosial non-komersil.

Ahmad Fuad Riefad
Ahmad Fuad Riefad
Universitas Hasanuddin

Pelajar aktif merokok di lingkungan Universitas HasanuddinPelajar aktif merokok di lingkungan Universitas Hasanuddin.Pelajar aktif merokok di lingkungan Universitas Hasanuddin

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.