Pemikiran mistisisme Islam sejak dahulu menjadi perhatian khusus di kalangan cendekiawan muslim. Inspirasi yang bersifat intuitif dan cenderung irrasional namun mengandung gagasan menarik di baliknya, kiranya menjadikan pemikiran ini pantas disorot. Dalam dunia Islam, penggunaan metode berfikir seperti itu lebih di kenal dengan para sufi. Para sufi tersebut memiliki doktirn yang dikenal dengan sufisme. Salah satu budaya sufisme adalah praktik menjalani kehidupan secara asketik. Yaitu menghindari urusan-urusan duniawi dan lebih mementingkan urusan ukhrawi yang transenden.
Namun dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, seringkali kritikan keras dilontarkan terhadap sufisme. Hal ini karena pemikiran yang muncul dari dari sufisme dianggap merusak kehidupan kaum muslim, seperti adanya kemiskinan yang menerpa kehidupan kaum muslim yang disebabkan oleh doktrin zuhud menurut sufisme dan adanya kemerosotan berpikir secara saintifik kaum muslim yang disebabkan oleh doktrin irasional-transenden sufisme.
Pemikiran sufisme yang dianggap memandang negatif dunia, menjadikan para penganut doktrin tersebut termarjinalkan. Padahal bila ditelisik lebih dalam, sebenarnya doktrin sufisme dalam memandang negatif dunia bukan berarti meninggalkan dunia seutuhnya. Sufisme menghilangkan corak berpikir yang materialis dan pragmatis. Fazlur Rahman, seorang intelektual muslim abad modern, menyatakan bahwa pemikiran sufisme belakangan yang memandang negatif dunia harus dikonstruksi ulang. Terlebih doktrin sufisme tradisional secara garis besar mengarah kepada ortodoksi yang hanya mengarah pada dimensi ritual saja (Rostitawati, 2018).
Salah seorang tokoh yang memiliki banyak membahas pemikiran sufisme adalah Jalaluddin Rakhmat. Ia merupakan cendekiawan muslim Indonesia yang cukup berpengaruh. Selain seorang cendekiawan muslim, ia juga merupakan seorang ahli dalam bidang komunikasi. Pemikiran sosok yang kerap dipanggil juga sebagai Kang Jalal ini berpengaruh karena gagasan-gagasannya tentang pembelaan terhadap kaum minoritas, orang-orang miskin, dan gagasan tentang meninjau ulang pemikiran Islam yang sudah ada.
Biografi Singkat Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal dilahirkan di Bandung, 24 Agustus 1949. Ia dibesarkan dilingkungan yang religius dan kedua orang tuanya merupakan aktivis Islam. Ia memiliki kebiasaan untuk membaca buku, baik keagamaan atau umum seperti filsafat. Ia pernah mengembara ke berbagai pesantren di Jawa Barat hingga ia tergabung dalam sebuah organisasi Islam bernama Persatuan Islam. Kang Jalal berkuliah di Universitas Padjajaran berhasil menyelesaikan studinya dalam bidang komunikasi. Kemudian ia mengajar di almamaternya dan mendapatkan kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Iowa State University. Kemudian ia melanjutkan doktoralnya di Australian National University.
Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang multidimensi. Hal ini karena berbagai tulisannya tidak terbatas dalam bidang keagamaan saja, melainkan juga dalam bidang non-agama seperti komunikasi. Ia memiliki karya besar berjudul Psikologi Komunikasi yang merupakan magnum opus dan sampai sekarang belum tertandingi. Dalam bidang keagamaan karya-karyanya cukup banyak seperti Islam Aktual, Islam Alternatif, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, Tafsir Sufi al-Fatihah dan lain sebagainya (Muhammad, 2020).
Kang Jalal sering disebut sebagai salah satu petinggi Syiah di Indonesia. Hal ini karena gagasan-gagasan yang muncul darinya banyak terinspirasi dari Ahlul Bait. Ia mendirikan sebuah organisasi bernama Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia yang disingkat menjadi IJABI. Organisasi ini memiliki lima pilar utama yaitu; Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, Islam Pluralis, Pembelaan pada Mustadh’afin dan Islam Madani. Meskipun Kang Jalal dikenal sebagai sosok yang merepresentasikan Syiah di Indonesia, Ia bukanlah seorang yang memiliki pemikiran eksklusif dan fanatik terhadap suatu sekte. Terlihat dari sosoknya yang merupakan seorang aktivis ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyyah. Ia selalu mengupayakan agar dialog antar mazhab berjalan sehingga menghilangkan sikap eksklusif dari masing-masing madzhab.
Bertepatan pada 15 Februari 2021 Kang Jalal menghembuskan nafas terakhirnya. Perjuangannya dalam menyebarkan Islam yang terbuka dan membebaskan kaum mustadh’afin, akan menjadi inspirasi bagi para penerusnya. Terlebih pemikiran dan problematika umat Islam akan terus ada.
Pemikiran Jalaluddin Rakhmat Tentang Sufisme
Sufisme sebagai paham yang bercorak mistik, secara epistemologi pastilah metode yang digunakan dalam mencari kebenaran sifatnya irasional. Terlebih sufisme berusaha untuk mencari makna dibalik realitas yang ada dan coraknya selalu bersifat transenden. Adanya doktrin sufisme menjadikan para penganutnya terikat pada hal-hal tertentu. Misalnya berupa organisasi yang menjadikan praktek ritual dan diselingi gagasan-gagasan etis tertentu atau yang lebih dikenal dengan tarekat.
Setelah menelusuri ulang sejarah peradaban Islam, banyak dari pada peneliti yang berpendapat bahwa salah satu penyebab utama kemunduran Islam adalah munculnya praktik yang berlandaskan sufisme. Adanya gagasan sufisme yang bersifat mistik menjadikan tradisi ini cenderung mengesampingkan rasionalitas, pandangan negatif terhadap dunia yang akhirnya mewarisi kemiskinan, dan perilaku yang hanya berpusat pada aspek ritual saja cenderung memunculkan problematika kemasyarakatan.
Namun Jalaluddin Rakhmat memiliki pandangan yang berbeda. Ia menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa kejayaannya, sufisme justru memiliki panggung sendiri dan tumbuh subur mewarnai masa tersebut. Terlihat dari munculnya sosok-sosok seperti Abu Harist al-Muhasibi, Dzun Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi dan lain-lain. Bahkan ia menyatakan bahwa sufisme lahir dari refleksi atas kekayaan. Bukan berangkat dari kemiskinan. Misalnya mengambil kisah sahabat Nabi Muhammad bernama Abu Dzar al-Ghifari yang melontarkan banyak kritik terhadap orang-orang muslim yang kaya dan cenderung bersikap acuh terhadap sesama. Kritik-kritik tersebut nantinya menginspirasi para tokoh-tokoh sufi yang disebutkan di atas (Rakhmat, 2021).
Selanjutnya Kang Jalal menyatakan bahwa berpikir seperti mistik seperti sufi bukan berarti menghilangkan semangat intelektual. Terlihat dari sosok filosof terkenal di dunia Islam yaitu al-Farabi. Sejauh ini, al-Farabi lebih dikenal sebagai seorang ilmuwan sekaligus filosof. Padahal perlu diketahui bahwa dirinya merupakan seorang sufi yang cemerlang. Dikatakan bahwa al-Farabi merupakan seorang yang tempat tinggalnya berpindah-pindah. Hal ini menurut Ibnu Khalikan merupakan tanda bahwa al-Farabi merupakan sosok yang tidak mempedulikan hal-hal yang sifatnya sebatas materi saja. Bahkan dikatakan bahwa al-Farabi merupakan tokoh yang gagasan menginspirasi sebuah gerakan yang dikenal dengan Ikhwan as-Shafa (Persaudaraan Suci). Gerakan ini memiliki corak pemikiran yang mengambil posisi moderat. Terlihat dalam berbagai manuskrip bahwa gerakan ini membahas hal-hal yang bersifat keagamaan dan sains. Kang Jalal menegaskan, mereka tidak hanya membahas dialektika Sokrates saja, namun juga membahas kezuhudan Ali bin Abi Thalib (Rakhmat, 2021).
Adanya anggapan bahwa doktrin sufisme menjadikan penganutnya memandang dunia secara negatif kiranya berlebihan. Dapat dilihat bahwa para sufi merupakan pedagang yang sukses dan aktif dalam perkara sosial. Adanya gerakan Imam Mahdi di Sudan dalam menentang penjajahan Prancis, Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara yang melakukan revolusi sosial, sampai di Indonesia sendiri, berbagai gerakan sosial banyak diwarnai oleh praktik sufisme.
Meninjau Ulang Konsep Zuhud
Sejauh ini, konsep zuhud dalam sufisme sering digambarkan sebagai sebuah praktek yang didasari dengan sikap asketik. Praktik ini sering menimbulkan berbagai kesalahpahaman yang menjadikan pandangan buruk terhadap sufisme berkembang. Seperti beberapa keterangan di atas, dianggap muncul akibat praktik zuhud yang terinspiriasi dari sufisme. Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa konsep zuhud yang sebenarnya tidak terletak pada pratiknya saja. Tapi lebih pada proses untuk menjalankan praktik tersebut. Di dunia Islam, ada seorang Imam Madzhab bernama Ahmad bin Hambal yang menulis karya berjudul Kitab az-Zuhd. Kitab tersebut ternyata menjelaskan makna asketik yang terukur, yakni berlandaskan pada motif-motif keagamaan. Ahmad bin Hambal setidaknya memberikan beberapa tingkatan atas zuhud. Pertama, praktik zuhud bagi orang awam yaitu meninggalkan segala perkara yang diharmkan. Kedua, praktik zuhud bagi orang khawash (khusus) yaitu meninggalkan perilaku yang berlebihan sekalipun itu dihalalkan, ketiga, praktik zuhud bagi para arifim (sudah mengenal Allah) yaitu meninggalkan segala sesuatu yang memalingkan diri selain kepada Allah.
Dari uraian tadi yang harus digarisbawahi adalah standar yang menjadi acuan dalam sufisme. Konsep zuhud yang inspirasinya berasal dari motif keagamaan, akan menjadikan praktik ini hidup. Kelalaian yang muncul akibat hilangnya standarisasi dalam doktrin sufisme akan berdampak negatif karena corak epistemologi yang menjadi metode sufisme bersifat rasional.
Daftar Pustaka
Muhammad, Muhammad. “JALALUDDIN RAKHMAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIKNYA.” Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam 2, no. 2 (10 Oktober 2020). https://doi.org/10.51900/alhikmah.v2i2.8807.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam alternatif: menjelajah zaman baru. Edisi baru (edisi kedua). Bandung: Mizan, 2021.
Rostitawati, Tita. “Pembaharuan dalam Tasawuf: (Studi Terhadap Konsep Neo-Sufisme Fazlurrahman).” Farabi 15, no. 2 (1 Desember 2018): 67–80. https://doi.org/10.30603/jf.v15i2.642.