DPR, beberapa hari lalu, melalui sidang tertutup yang diselenggarakan dalam sebuah hotel mewah di tengah kota Jakarta, secara sepihak merevisi RUU TNI tanpa mempertimbangkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Demonstrasi akhirnya terjadi selama berhari-hari, menyusul keputusan ini, di pelbagai penjuru negeri, bertepatan dengan sepertiga akhir bulan ramadan yang suci. Namun aksi tersebut tampaknya sama sekali tidak mengubah pikiran para pembuat regulasi. Belakangan ini, aksi semacam ini dituduh ditunggangi asing, agen bayaran, perusak fasilitas umum, dan diberi berbagai stigma negatif lainnya.
Banyak pakar menyebut bahwa revisi RUU TNI cacat secara formil maupun material. Revisi itu tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan regulasi, juga berpotensi besar membuka jalan untuk kembalinya dwi-fungsi TNI. Dwi-fungsi tidak berarti bahwa TNI akan lebih banyak memberikan kontribusi, melainkan membuka peluang bagi terjadinya pelbagai kekerasan akan lebih sering terjadi, juga korupsi besar-besaran serta impunitas akan terulang lagi, seperti yang dulu terjadi di zaman Orde Baru.
Kecurigaan semacam ini tampaknya segera menemukan bukti konkrit. Salah satunya, melalui masuknya militer ke dalam beberapa perguruan tinggi. Kedatangan mereka, jelas bukan merupakan ajakan untuk berdiskusi. Dengan dalih sosialisasi dan kolaborasi, mereka meminta mahasiswa untuk meminta maaf karena telah melakukan aksi demonstrasi. TNI tampaknya memahami betul slogan lama yang sering dipekikkan mahasiswa, bahwa mahasiswa adalah ‘agent of change’. Entah apakah adagium itu masih relevan, tapi tampaknya mereka mengerti betul bahwa jika mereka ingin agendanya tidak diinterupsi, mereka harus melakukan upaya represi melalui institusi-institusi tempat para mahasiswa maupun akademisi mengasah diri, perguruan tinggi.
Dan tak cukup sampai di sini, Revisi RUU Polri tampaknya hanya tinggal menunggu waktu untuk disahkan menjadi regulasi. Bagaimana memahami peristiwa semacam ini? Mengapa negara memperkuat kewenangan aparatus represifnya? Mengapa juga negara membiarkan TNI masuk ke dalam institusi pendidikan, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kewenangannya? Dengan membaca melalui paradigma Althusser, peristiwa semacam ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena memang demikianlah cara kerja negara. Bagi Althusser, negara merupakan institusi yang memungkinkan sekaligus memastikan dominasi kelompok berkuasa atas kelompok marjinal terus-menerus terjadi, baik melalui kerja-kerja represif maupun mekanisme persuasif-ideologis.
Reproduksi Syarat-Syarat Produksi
Dalam esai panjangnya yang berjudul Ideology and Ideological State Apparatus, Althusser menjelaskan bahwa apa yang terpenting bagi forma sosial kapitalisme agar dapat terus-menerus mempertahankan dirinya adalah kemampuannya mereproduksi syarat-syarat produksi. Syarat-syarat produksi sekurang-kurangnya mengandaikan dua hal, yakni pertama kekuatan-kekuatan produksi yang mencakup bahan baku, tempat produksi, mesin produksi, juga tenaga kerja. Kedua, kepatuhan pada relasi-relasi produksi yang telah mapan.
Menurut Althusser, reproduksi kedua syarat produksi tersebut dipastikan oleh negara melalui aparatus-aparatusnya. Kita bisa saja mengatakan bahwa dengan modal yang dimiliki para kapitalis, mereka bisa mereproduksi syarat-syarat produksinya sendiri, bahkan tanpa intervensi negara sekalipun. Dengan kapital yang mereka miliki, para kapitalis memang bisa saja memenuhi syarat produksi yang pertama. Mereka bisa saja membeli bahan baku yang mereka inginkan, mesin-mesin produksi yang akan digunakan, dan membayar para buruh yang akan mereka eksploitasi. Namun dalam banyak kasus, para kapitalis pun sebenarnya masih harus membutuhkan peran negara. Contohnya saja ketika para kapitalis menginginkan tambang, hutan, dan area-area strategis tertentu, tapi kemudian mendapatkan resistensi dari rakyat. Dalam situasi seperti ini, Negara akan membantu para kapitalis untuk mendapatkannya, baik melalui cara-cara represif maupun persuasif.
Demikian juga dalam mereproduksi syarat yang kedua, para kapitalis juga sangat bergantung pada negara. Karena untuk mereproduksi kepatuhan dari tenaga kerja, para kapitalis sama sekali tidak cukup hanya dengan membayar dan membeli. Mereka, terutama sekali, harus mereproduksi ‘kesadaran kultural’, ialah cara berpikir para buruh agar terus bekerja di bawah tatanan kapitalisme yang penuh penindasan. Dan reproduksi ‘kesadaran kultural’ ini dipastikan oleh negara melalui aparatus-aparatusnya dalam bentuk ideologi. Ideologi ini kemudian membuat suatu relasi produksi yang timpang tampak natural, sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah (taken for granted).
RSA dan ISA pendidikan
Dalam memastikan syarat-syarat reproduksi terpenuhi, Althusser membedakan aparatus negara berdasarkan cara kerjanya ke dalam dua jenis, yakni Repressive state apparatus (RSA)dan ideological state apparatus (ISA). Persis seperti namanya, RSA bekerja dengan cara represif, melalui kerja-kerja kekerasan yang begitu mengerikan. Institusi yang bisa kita sebut ke dalam aparatus jenis ini, misalnya adalah TNI dan polisi. Sedangkan ISA bekerja, terutama sekali, dengan cara yang persuasif-ideologis, melalui diseminasi pengetahuan yang telah diselubungi ideologi dominan. Aparatus jenis ini mengejawantah dalam pelbagai institusi mulai dari yang bersifat publik seperti politik, hingga yang paling privat seperti keluarga. Media, agama dan pendidikan pun termasuk ke dalamnya.
Tapi apa yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa klasifikasi aparatus negara yang dibuat oleh Althusser hanya menunjukkan dengan cara apa suatu aparatus sebenarnya berfungsi. Baik RSA maupun ISA, sebenarnya sama-sama memiliki baik mekanisme represif maupun ideologis dalam menjalankan tugasnya. Apa yang membedakan kedua aparatus adalah fungsi primer yang dijalankan dan fungsi sekunder yang mendukungnya. Pendidikan, misalnya, juga dalam derajat tertentu membutuhkan mekanisme represif seperti hukuman dan pengusiran, untuk menjalankan mekanisme ideologisnya. Sebaliknya, TNI dalam derajat tertentu membutuhkan mekanisme ideologis, seperti retorika stabilitas dan nasionalisme, saat menjalankan kerja-kerja represifnya.
Masih dalam buku yang sama, Althusser menambahkan bahwa dari sekian banyak ISA yang mengejawantah dalam pelbagai institusi, ISA yang paling dominan adalah institusi pendidikan. Dominan di sini bisa dipahami bahwa suatu ISA mampu memainkan beberapa fungsi sekaligus, dan menjadi konsentrasi perjuangan kelas.
Kemudian melalui abstraksi sejarah, Althusser menunjukkan bahwa pendidikan telah menggantikan konsentrasi perjuangan kelas. Menurutnya, Revolusi Perancis tidak semata adalah pengambilan kekuasaan dari para aristokrat, melainkan terutama sekali mengambil fungsi ideologisasi yang dijalankan oleh gereja, untuk kemudian digantikan dengan pendidikan modern. Demikian juga dalam Revolusi Soviet, kita bisa melihat kegigihan Lenin dalam merevolusi pendidikan, lebih dibandingkan ISA yang lain, hanya demi memastikan masa depan proletariat dan transformasi menuju sosialisme. Bagi Althusser, inilah sebabnya pendidikan menjadi ISA paling dominan, bahwa ia menjadi sasaran utama perjuangan kelas dan menjadi wadah bagi banyak fungsi seperti edukasi, ideologi, juga ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan sejak awal tidak pernah bebas kepentingan, seperti yang digembar-gemborkan sebagian kalangan. Pendidikan akan selalu digunakan untuk mendiseminasi ideologi dominan, dengan demikian, juga mereproduksi ‘kesadaran kultural’.
Membaca Peristiwa Hari Ini
Dalam kerangka teoritis yang ditawarkan Althusser, pelbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini seharusnya membuat kita memahaminya secara kritis. Diperkuatnya aparatus represif yang dimiliki negara melalui revisi RUU TNI, dan melalui pembahasan RUU KUHAP secara sembunyi-sembunyi, tidak lain adalah mekanisme khas dari negara untuk memperkuat dominasinya. Juga ketika negara membiarkan TNI masuk ke perguruan tinggi untuk mengintervensi urusan-urusan akademik dengan dalih pengamanan, sosialisasi atau kolaborasi, harus dibaca sebagai upaya negara untuk memastikan dominasi kultural melalui aparatus ideologi pendidikan. Dengan masuknya TNI ke perguruan tinggi, TNI kemudian memiliki legitimasi ideologis yang lebih memadai, pun sebaliknya perguruan tinggi mampu menjadi saluran atau mekanisme represif yang lebih ditakuti.
Melalui kombinasi antara aparatus represif dan ideologis semacam ini, tentu kontradiksi tidak akan pernah terjadi, dan pada gilirannya memungkinkan kapitalisme dapat terus-menerus mereproduksi dirinya. Padahal, tanpa penambahan kewenangan, TNI dan Polri telah lama melakukan banyak sekali mekanisme represi untuk membantu kaum kapitalis mendapatkan keinginannya. Dengan demikian, tentu penambahan kewenangan semacam ini justru akan memperparah hal itu. Penguatan aparatus represif semacam ini, sebenarnya tak lebih dari sekadar upaya negara untuk memberikan sajian yang lebih manis bagi para kapitalis.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Althusser, tanpa intervensi TNI sekalipun, pendidikan sejak semula memang telah menjadi “kamp ideologisasi”. Dan Pendidikan (kita) masih menunjukkan kecenderungan semacam ini, di mana suara kritis masih sering diabaikan, banyak kelompok-kelompok yang terpinggirkan, belum banyak ruang aman bagi perempuan, dan orientasi pendidikan yang hanya pada keuntungan finansial. Jika tanpa intervensi TNI saja pendidikan kita masih begini, kedatangan TNI ke kampus-kampus di banyak penjuru negeri, tentu saja bukan dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan, karena bukan dengan cara ini mereka berfungsi. Alih-alih memperbaiki, kedatangan mereka justru akan akan memperparah apa yang telah terjadi.
Revisi UU TNI, juga masuknya TNI ke perguruan tinggi bukanlah system error, tapi tidak lain adalah sistem itu sendiri. Melalui aparatusnya yang semakin terkendali negara berupaya meredam upaya-upaya rakyat untuk memperjuangkan hak-hak mereka baik sebagai para pekerja maupun sebagai warga negara. Dan pada gilirannya, memungkinkan penindasan di bawah kapitalisme terus-menerus direproduksi sekali lagi, lagi, lagi, hingga nanti. Dari perspektif yang ditawarkan Althusser ini, kita diajak untuk melihat kekuasaan negara secara lebih holistik. Bahwa negara beserta segala aparatusnya, mulai dari TNI, polisi, bahkan perguruan tinggi, adalah kaki tangan dari kapitalisme. Dengan demikian, kritik kita sudah seharusnya tidak hanya ditujukan pada negara beserta aparatusnya, tetapi juga, terutama sekali, pada forma sosial kapitalisme yang mengerangkai tiap-tiap regulasi yang dibuat oleh negara.