Urgensi Filsafat Abad 21: Menerka dan Menolak Budaya Maya

Televisi di Stasiun Kereta di Waterloo
Televisi di Stasiun Kereta di Waterloo

Dalam sains (ilmu pengetahuan) mengutip Stephen Hawking, “Musuh terbesar pengetahuan bukanlah kebodohan, tetapi ilusi pengetahuan.” Penulis sangat setuju dengan pernyataan ini apabila makna dari kata “kebodohan” dikonotasikan sebagai bagian dari proses pencarian akan pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, “kebodohan” di sini berarti kesadaran manusia yang memposisikan dirinya tidak tahu untuk kemudian mendorong manusia melakukan pencarian atas pengetahuan. “Kebodohan” adalah curiosity (rasa ingin tahu) dalam kodrat manusia yang selanjutnya bertransformasi menjadi pengetahuan.

Sesungguhnya itu pulalah yang terjadi di dalam sejarah filsafat. Pada mulanya, kelahiran filsafat bukanlah pemberontak kebodohan manusia di zaman Yunani Kuno. Akan tetapi, lebih pada pemikiran ilusif yang mendominasi ruang kehidupan, adalah mitos-mitos zaman yang kala itu digugat oleh para filsuf Yunani Klasik.

Hari ini kita tidak bisa menolak mitos, dalam arti sebagai bagian dari diskursus metafisis yang mustahil dijangkau oleh akal manusia. Namun, mitos sebagai “hantu-hantu pemikiran yang bersifat maya” adalah satu kenyataan yang harus kita jauhkan dari kesadaran kita. Sesuatu yang ilusif atau maya adalah sesuatu yang harus kita “jauhi” dan kritisi. Sebab sebagian besar dari kenyataan yang ilusif atau maya menipu.

Di antara filsafat dan sains hadir sebuah tema yang sama, ialah kondisi di mana keduanya hadir untuk menjadi lawan dari tendensi-tendensi ilusif. Dengan demikian, penulis tidak setuju dengan pernyataan “Filsafat sudah mati, sejak munculnya sains” seperti yang dikatakan pula oleh Hawking. Menggunakan argumentasi Jacques Derrida, disiplin dari filsafat dan sains pada dasarnya adalah pada rute rasionalitas yang sama. Bukankah sains sesungguhnya muncul juga karena adanya filsafat?

Dalam banyak hal, sains seperti kurang cakap dan kurang komprehensif ketika harus menanggapi realitas zaman. Nuansa pemikirannya cenderung bersifat spesialis, terlihat tidak mampu memberikan perspektif yang utuh untuk mengkritisi fenomena zaman. Meskipun dalam ruang-ruang tertentu, sains memberikan analisis yang mendetail. Dalam Range, David Epstein mencoba memberikan paradigma baru yang menggugat masalah kompetensi spesialis. 

Perlu digarisbawahi bahwa penulis tidak bermaksud untuk meminorkan peran sains. Penulis hanya bermaksud memberikan counter argumentasi yang mengatakan bahwa filsafat hari ini sudah mati karena lahirnya sains. Antara filsafat dan sains bukanlah dikotomi yang harus dipertentangkan. Filsafat dan sains adalah dua disiplin yang saling melengkapi.

Di abad 21, filsafat harus kembali hadir untuk menanggapi realitas-realitas yang muncul. Terutama mengenai realitas ilusif atau maya yang begitu merebak dalam rentang waktu terakhir, sebagai kondisi zaman yang harus filsafat gugat. Di zaman Yunani Kuno, problem mitos dewa-dewa adalah realitas maya yang coba digugat dan diatasi oleh filsafat Yunani Kuno. Di zaman Klasik, Abad Pertengahan, dan Modern selalu muncul realitas-realitas maya yang harus digugat dan diatasi. Di abad kontemporer ini, filsafat hadir dengan semangat yang kurang lebih sama untuk menggugat hal yang bersifat sama pula. Yakni, realitas-realitas maya.

Kita ambil satu realitas maya di hari ini adalah, misalnya, tentang industri budaya, konstruksi perkembangan teknologi, fetisisme komoditas, dan masalah kebutuhan semu (palsu) yang segala bentuk dan modelnya telah dikapitalisasi dengan trend-trend baru. Industri budaya yang masif telah melahirkan produksi-produksi budaya yang kemudian menjadi “pemancing” dalam parameter gaya hidup masyarakat. Perkembangan teknologi hadir dan menuntut penggunanya untuk senantiasa diperbudak oleh realitas media sosial. Fetisisme komoditas berkelindan penuh dengan massifikasi media sehingga ia menjadi role model pola hidup. Ini semua terjadi karena media (sosial) saat ini telah menjadi sarana promosi paling efektif.

Adanya fenomena influencer juga sudah begitu hebat berhasil mengikat brand dengan konsumen. Fetisisme semakin menjadi-jadi lantaran didukung dengan model masyarakat yang memposisikan figur publik sebagai idola dan model gaya hidup. Masyarakat seolah kehilangan sisi otentik dari dirinya sebab apa yang menjadi ukuran adalah hal-hal semu di luar dirinya.

Realitas ini menguasai kehidupan abad 21. Kebudayaan diakui atau tidak, bisa diartikan sebagai produk industri budaya. Produk dari industri budaya tersebut telah menjadi acuan kita dalam memparameterkan sikap hidup sehari-hari. Kehidupan kita telah dikontrol oleh produk-produk industri budaya. Di saat bersamaan produk-produk industri tersebut lantas menjadi standar gaya hidup di ruang sosial. Potret dari realitas “lifestyle is opium of the masses”, tersusun begitu rapi dalam kotak-kotak budaya pop, juga menjamur lewat kontrol-kontrol kehidupan melalui kafe, fesyen, film maupun pola hidup lainnya. Seakan-seakan hal-hal demikian itu mampu memberikan limpahan eksistensi tersendiri bagi para penikmatnya. Padahal, sesungguhnya keadaan demikian adalah realitas maya yang sangat impulsif.

Melihat realitas demikian, seperti diistilahkan Budi Hardiman, kapitalisme melalui budaya populer (baca: budaya maya) menjadi kondisi di saat manusia dipaksa berpartisipasi secara aktif tanpa sadar untuk larut dalam budaya massa. Dalam kajian kebudayaan, Theodor W. Adorno juga merumuskan soal Commodity Society, yang mengatakan bahwa kebudayaan senyata-nyatanya adalah sengaja dibuat demi membawa massa agar masuk ke dalam ruang hegemoni praktik-praktik sosial yang skemanya sengaja diatur dari awal untuk memenuhi kebutuhan pasar melalui segala bentuk produk-produk industri budaya yang diciptakannya. Ini pulalah yang oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation sebagai upaya instrumentalisasi pola pikir dengan tujuan mempertahankan status quo dan kekuasaan yang sedang memegang kontrol, lebih-lebih untuk menguntungkan industri kapitalisme (pemilik modal).

Realitas-realitas maya demikianlah yang perlu diatasi oleh kecenderungan filsafat di abad kontemporer guna membangunkan manusia yang dininabobokan zaman. Setidaknya dengan cara yang ditawarkan oleh Karl Popper, bahwa kita harus dapat menerka realitas-realitas maya yang serba ilusif dan menipu, untuk kemudian menolaknya. Sehingga kita dapat merumuskan kembali cara hidup baru yang lebih baik.

Demikian juga tanggapan kita atas Post-Truth, kondisi di mana banjir informasi melanda manusia. Berlandas pada pendapat Derrida, untuk mengatasi maraknya informasi-informasi yang beredar secara silang sengkarut, kita perlu melihat informasi yang ada sebagai realitas yang dikonstruksi melalui “teks”. Baginya, segala sesuatu yang ada selalu memiliki status teks. Segala sesuatu selalu terkait dengan tekstualitas. Karenanya, realitas adalah teks itu sendiri sehingga agar kita tidak terbawa dalam arus kebohongan informasi, kita harus mampu membaca segala informasi yang ada dengan analisis intertekstualitas. Karena suatu teks (informasi) tidak pernah terisolasi, melainkan selalu berkaitan dengan teks-teks (informasi) lain.

Ahmad Miftahuddin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari adalah seorang mahasiswa Aqidah dan Filsafat, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.