Sebagai sebuah anugerah bagi manusia, cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang terberi (given) dan diterima begitu saja (taken for granted). Hal ini membuat sebagian individu merasa sudah pasti mampu mencintai dengan sendirinya. Mencintai menjadi sesuatu yang natural, tidak perlu dipelajari, apalagi dikaji secara mendalam. Bukan berarti gagasan mengenai naturalisme cinta adalah keliru, seperti dalam perspektif biologis yang menjelaskan bahwa ia bermula dari adanya dinamika hormonal dalam tubuh manusia, ataupun dalam perspektif agama yang melihat cinta sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga pada dasarnya manusia memang pasti mampu mencintai atau punya potensi untuk mencintai. Namun, berhenti pada gagasan naturalis sepertinya terkesan mereduksi konsep cinta itu sendiri. Sejumlah problem yang lahir dari relasi tersebut tidak selalu dapat dijawab bahwa hal itu merupakan sesuatu yang natural dan tinggal dijalani saja. Ini menciptakan semacam pesimisme dalam cinta, sehingga seakan-akan tidak ada jalan keluar. Rasa sakit yang sering kali timbul oleh karena problem tersebut secara terpaksa harus direpresi atau bahkan dibius dengan harapan ia bisa hilang dengan sendirinya.
Problem dalam cinta setidaknya berasal dari dua hal, yaitu dari proses pemaknaan maupun perwujudan atas konsepsi yang diyakini oleh manusia. Hal ini dikarenakan konsepsi yang sejati dari cinta itu sendiri merupakan sesuatu yang misterius, ia tidak bisa dicapai, apalagi dirumuskan dengan suatu rumusan yang pasti. Manusia hanya dapat menafsirkannya untuk kemudian diwujudkan dalam tindakan tertentu. Tentu jika penafsiran ini masuk ruang sosial, maka secara sosiologis—khususnya dalam perspektif fungsionalisme-struktural—akan lahir kesepakatan sosial mengenai nilai-nilai atas cinta.
Jika kita berupaya untuk menginventarisasi, tentunya banyak problem cinta yang bisa diidentifikasi, seperti ketidakcocokan, ketidaksepahaman, impotensi, ketidaksetiaan, ketidaktulusan, pengkhianatan, termasuk ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah adanya dominasi (penguasaan) maupun dependensi (ketergantungan). Cinta yang tidak setara selalu berpotensi dipraktikkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tidak selalu laki-laki identik dengan dominasi dan perempuan identik dengan dependensi. Sebagai sesama manusia, keduanya punya potensi untuk mempraktikkan hal tersebut. Cinta yang tidak setara tidak hanya problematis dalam dirinya sendiri, tetapi jika dibiarkan tentu dapat menimbulkan problem bawaan, seperti pengekangan maupun kekerasan.
Erich Fromm: respect
Erich Fromm adalah seorang psikoanalis sekaligus sosiolog yang berafiliasi dengan Frankfurt School—dikenal sebagai mazhab Frankfurt. Dalam karyanya The Art of Loving, Fromm fokus pada deskripsi konsep cinta bagi masyarakat modern, yang tentu ia kaitkan dengan keberadaan kapitalisme, serta responsnya terhadap gagasan Sigmund Freud mengenai libido seksual. Ia memulai gagasannya dengan berkutat pada persoalan definisi dalam cinta, yang menurutnya tidak semata-mata timbul dari sebuah keberuntungan. Baginya, hal tersebut merupakan sebuah seni yang perlu pengetahuan dan upaya untuk mewujudkannya.
Untuk menempuh jalan “cinta”, menurut Fromm ada beberapa elemen dasar yang perlu diupayakan, yaitu care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (hormat), dan knowledge (pengetahuan). Untuk dapat mewujudkan cinta yang setara, penting untuk mengupayakan salah satu elemen, yaitu respect. Respect di sini bukan berarti segan atau takut, melainkan suatu kemampuan untuk memandang “dia yang dicintai” sebagaimana dirinya. Artinya kita perlu menghargai dan menghormati kekhasannya sebagai individu, entah berkaitan dengan karakter, watak, minat, bakat, maupun hobi. Kita perlu menyadari bahwa kita mencintai seorang manusia, dan karakter manusia tidaklah statis seperti benda mati, melainkan dinamis. Menyamakan karakter, watak, minat, bakat, maupun hobi secara total, merupakan hal yang nyaris tidak mungkin. Secara paradoksal, Fromm menyebut bahwa “aku dan kamu bersatu, tetapi tetap dua”, atau dalam istilah populer “aku dan kamu menjadi kita”, “kita” pada dasarnya berisi dua individu dengan dua karakter yang berbeda. Di dalam perbedaan individualitas inilah, kita dan “dia yang dicintai” dapat saling mengisi satu sama lain untuk tiba pada cinta yang setara.
Alain Badiou: dua adegan
Alain Badiou adalah seorang filsuf dan novelis asal Prancis yang merupakan pendiri fakultas Filsafat Universete de Paris VIII. Dalam dialognya bersama dengan Nicolas Truong (seorang jurnalis asal Prancis) di Festival Avignon, Badiou memaparkan gagasannya mengenai cinta. Menurutnya, cinta adalah sebuah konstruksi yang perlu terus dibangun tanpa mengenal finalitas. Pembangunan ini dapat dimulai dari sebuah pertemuan, yang tidak hanya menghubungkan dua individu secara fisik, melainkan juga secara batin.
Sama halnya dengan Fromm yang menekankan pentingnya individualitas dalam relasi cinta, Badiou juga membahas pentingnya mengonstruksi cinta dalam dua perspektif. Baginya, ia bukan hanya tentang bertemunya dua orang dan terhubungnya batin mereka, melainkan sebuah konstruksi yang dibangun tidak lagi dari perspektif “satu” tetapi dari perspektif “dua”. Badiou menyebut momen ini sebagai “dua adegan”. Tentu kita bisa asumsikan bahwa “dua adegan” bukanlah pemaksaan perspektif—baik perspektifku maupun perspektifmu, apalagi pertempuran ataupun kontestasi antar perspektif yang berujung pada siapa yang menang dan siapa yang kalah. Pihak yang menang menjadi yang mendominasi dan pihak yang kalah menjadi yang didominasi. Jika cara kerjanya semacam itu, tentu momen yang tercipta adalah “satu adegan”, yang apabila kita urai kembali, maka akan termanifestasi—kembali—ke dalam dua praktik, yaitu dominasi (penguasaan) dan dependensi (ketergantungan). “Dua adegan” merupakan komitmen untuk membangun kehidupan bersama, komitmen yang dibangun oleh dua individu yang memiliki karakteristik khasnya masing-masing, dan dengan ini cinta yang setara dapat diwujudkan.
Cinta yang Setara
Melalui pemikiran Fromm dan Badiou, kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya mewujudkan cinta yang setara. Fromm telah menunjukkan bahwa mewujudkan respect terhadap “dia yang dicintai” merupakan salah satu jalan menuju cinta yang setara. Sedangkan Badiou telah menunjukkan betapa cinta perlu diposisikan sebagai konstruksi berbasis “dua adegan”, karena di dalam relasi tersebut terdapat dua individu dengan kekhasannya masing-masing yang berupaya mewujudkan kehidupan bersama. Dengan relasi semacam itu, praktik-praktik dehumanisasi seperti pengekangan dan kekerasan dapat dihapuskan. Kebahagiaan tidak dimiliki atau dimonopoli oleh satu pihak saja, dan terlahir “kebahagiaanku, kebahagiaanmu, dan kebahagiaan kita”.
Daftar Pustaka
Badiou, Alain. 2009. Eloge de l’amour. Terjemahan Andreas Nova. 2020. Sanjungan Kepada Cinta. Edisi Pertama. Circa: Yogyakarta.
Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. New York: Harper & Brothers. Terjemahan Aquarina Kharisma Sari. 2018. Seni Mencintai. Cetakan Pertama. Basabasi: Yogyakarta.
- 18/09/2020
- 16/11/2020