Kesadaran kritis, mungkinkah?

Kesadaran kritis dipahami sebagai sebuah bentuk kesadaran di mana individu mengetahui dan menyadari keberadaan unsur-unsur di luar dirinya.
Kesadaran kritis Paulo Freire
Paulo Freire

Manusia hanya bisa menjalani hidup sebagai seorang manusia yang utuh—being in himself—apabila mereka memiliki kesadaran penuh atas keberadaan dan kehendak mereka sendiri atas diri sendiri. Dalam bahasa, Paulo Freire, kesadaran seperti itu disebut sebagai kesadaran kritis. Persoalannya adalah apakah manusia dapat mencapai kesadaran yang demikian atau apa yang disebut sebagai kesadaran kritis, kesadaran yang sebenarnya itu benar-benar ada?

Kesadaran kritis dipahami sebagai sebuah bentuk kesadaran di mana individu mengetahui dan menyadari bahwa ada unsur-unsur di luar dirinya yang mempengaruhi kesadarannya sendiri. Kesadaran kritis yang dimaksudkan di sini, tidaklah sama persis dengan apa yang dimaksud oleh Freire. Tapi saya bermaksud untuk mengukur seberapa besar peluang setiap (semua) individu mendapatkan kesadaran yang utuh.

Saya ingin memajukan sebuah paradoks. Sikap egois disifati sebagai suatu sikap yang jelek atau buruk. Kamus Meriam Webster mendefinisikan egoisme sebagai sebuah doktrin yang memandang bahwa kepentingan individu merupakan motif dari segala tindakan sadar. Sikap mementingkan diri sendiri ditilik dari sisi norma sosial maupun agama cenderung berarti suatu hal yang tidak baik.

Namun di sisi lain, dalam beberapa tradisi agama samawi, untuk menyeru orang atau kelompok di luar kelompoknya adalah hal yang harus dilakukan, sebab itu perintah Tuhan. Bentuk-bentuk tindakan yang seperti ini bisa ditemukan dalam tradisi Islam maupun Kristiani. Motif penyeruan atau pengajakan orang atau kelompok di luar kelompok atau keyakinannya—orang yang menyeru—tidak mungkin keluar dari dua kemungkinan yang memiliki satu makna sama.

Motifnya adalah orang ini—si penyeru—meyakini keyakinan yang ia anut sebagai yang paling baik dan benar. Motif lainnya adalah penganut agama melihat orang yang menganut keyakinan di luar keyakinannya berada pada kondisi yang salah, tersesat. Sifat merasa paling benar, paling baik, ini menunjukkan sebuah bentuk keegoisan.

Apakah hal ini hanya berlaku pada persoalan agama saja? Tidak. Keadaan seperti ini hampir berlaku pada semua hal. Ideologi, agama, sosial, sains, semuanya cenderung tertuju pada keegoisan. Ketika sains berbicara mengenai kebenaran objektif, agama bicara mengenai perintah Tuhan, dan ideologi bicara mengenai bagaimana seharusnya, terdapat suatu sifat yang memaksa apa yang ada di luar dirinya untuk menerima pandangan yang dibawa oleh institusi-institusi ini.

Akibatnya jelas, bahwa setiap individu cenderung bersifat manipulatif. Ketika suatu institusi memaksakan kebenaran yang dimilikinya, maka dengan sendirinya membatalkan kemungkinan untuk setiap individu-individu lainnya sampai pada kesadaran kritis. Juga, secara tidak langsung individu yang memanipulasi kesadaran orang lainnya turut menciptakan ketidakmungkinan tercapainya kesadaran kritis tersebut. Sebab secara tidak langsung individu yang memanipulasi kesadaran ini telah menghadirkan faktor-faktor tersebut yang selanjutnya juga memanipulasi diri mereka sendiri.

Apakah kesadaran bisa sampai pada tahap kritis? Sulit. Kesadaran terjebak dalam suatu keadaan yang dilematis. Untuk melaju pada tahap kritis kesadaran malah menegasikan tujuannya sendiri sehingga kesadaran hanya akan tetap berada pada sifat yang naif.

Menguji batas kesadaran kita

Para filsuf mengawali tradisi pemahaman terhadap kehidupan. Siapa saya? Kenapa saya di sini? Siapa yang menciptakan saya? Bagaimana alam semesta bekerja? Siapa yang mengatur semua ini? Apakah itu Tuhan? Mungkinkah manusia dapat mengenal Tuhan? Semua pertanyaan ini merupakan upaya para filsuf memahami ke’ada’-an mereka secara utuh.

Manusia sebagai puncak dari proses evolusi memiliki struktur anatomi yang jauh lebih baik dari hewan lainnya untuk menyadari semua keberadaan. Tapi sejauh mana manusia dengan struktur dan alat yang mereka miliki untuk bisa memahami—setidaknya—diri mereka sendiri? Ini penting untuk mengetahui sejauh mana manusia menjadi pengendali utuh atas keberadaan mereka sendiri.

Anda secara aktif dapat memilih mau kuliah di perguruan tinggi mana; memilih ingin bekerja apa; memilih pacaran dengan siapa; memilih pandangan politik; memilih bagaimana Anda menghabiskan tahun baru, keluar dengan teman-teman Anda atau tetap rebahan di rumah. Variabel-variabel ini seakan-akan menunjukkan, persoalan keadaan kesadaran telah selesai di zaman modern. Tapi, kenyataannya tanpa Anda sadari pilihan-pilihan tadi justru menunjukkan bahwa Anda sebenarnya tidak sadar. Sebab, adanya pilihan-pilihan tersebut telah memaksa Anda untuk membuat suatu pilihan. Persoalannya adalah: kenapa saya harus memilih? Lihat, betapa kesadaran tidak pernah kita kendalikan secara utuh.

Selalu saja ada, hal-hal di luar diri manusia yang menentukan kesadaran manusia itu sendiri.

Dengan ketidakmungkinan untuk menang atas apa yang hadir di luar diri manusia yang berikutnya memanipulasi kesadaran manusia, manusia lebih memilih sikap kompromistis terhadap segala sesuatu yang ada di luar mereka. Hal ini menjadi pasti sehingga lahirlah berbagai institusi seperti negara, agama, sains, yang merupakan unsur-unsur dari luar mereka sendiri.

Manusia tidak dapat melangkah lebih jauh ke depan karena harus mempertahankan kondisi manipulatif di sekitarnya. Kalau begitu, mengapa tidak berusaha untuk menghilangkan saja keadaan manipulatif ini? Namun jawabannya tidak semudah membuat pertanyaan, karena menghilangkan manipulasi akan mempengaruhi kehidupan secara radikal. Jika kesadaran manipulasi dihilangkan, maka tidak ada lagi gunanya negara, agama, atau pun sains. Akibatnya segala bentuk kekuatan atau fondasi yang dibangun untuk mempertahankan keharmonisan dari tatanan kehidupan akan runtuh.

Segala bentuk upaya untuk mencapai ke-otonom-an manusia sebetulnya adalah upaya yang sia-sia. Seperti kita memahami, sekuat apa pun pencarian terhadap kebenaran an sich, manusia tidak akan pernah mencapainya dan sampai pada tahap itu. Tapi jika manusia berhenti berusaha memahami segala hal—diri sendiri, moral, kebenaran—maka manusia juga kehilangan alasan-alasan mereka ada.

Barang kali memang benar, hidup sebenarnya tidak memiliki makna apa-apa. Segala tatanan yang dibangun oleh manusia sebenarnya tidak lebih dari sekadar mengintimidasi diri sendiri untuk tetap bertahan hidup. Di balik semua pencapaian umat manusia, manusia bekerja dalam kebingungan.

Mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Imam Bonjol Padang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content