Kaum Yahudi dan Nazi

Liyan seturut perkembangan bahasa berasal dari kosakata jawa yang berarti orang lain. Liyane berarti lainnya, atau liya-liya berarti berbeda-beda. Dalam penyerapan ke dalam bahasa Indonesia, liyan mengungkapkan keberadaan lain dari diri manusia, atau dengan kata lain adalah yang selain kita. Ungkapan selain membawa pemahaman liyan membawa manusia pada perenungan yang lebih dalam mengenai; apa yang membedakan ia sehingga ia dikatakan berbeda denga saya? Keresahan humanisme yang sering kali hanya dikenali dari universalitas sifat manusia (menghargai manusia karena kesamaan, bukan juga dengan perbedaan) dapat terjawab melalui pertanyaan ini.

Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai kata tunjuk persona seperti aku dan engkau, kami dan kalian, atau kita dan mereka yang merujuk pada ‘aku dan kelompokku’ serta ‘anda dan kelompok anda’. Melalui pembagian ini nampak jelas bahwa liyan merupakan ia yang berada di luar kelompok dari ‘saya’. Dalam pergaulan di Jawa Timur misalnya, untuk menyatakan kesatuan antara pembicara dan kelompoknya, ia dapat menggunakan kata ‘awak dewe’ yang secara harafiah dapat diartikan sebagai ‘badan atau tubuh kita’ sebagai kata ganti kata ‘kita’. Dengan demikian maka yang liyan atau yang tidak sekumpulan dapat menjadi ‘ia’ yang berada di luar tubuhku. Hal ini dapat memicu permasalah kemanusiaan ketika perbedaan atau batasan tidak dimengerti dan disikapi dengan benar.

Liyan menurut Riyanto merupakan ia yang memiliki perbedaan dengan kita, yang mana di saat yang sama ia menjadi pelengkap kehidupan kita. Perbedaan tidak pernah dimaknai secara peyoratif sebagai suatu yang buruk. Justru perbedaan merupakan tanda bahwa manusia tidak pernah benar-benar unik secara tunggal. Manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, perbedaan dan persamaan, seluruhnya menjadikan manusia terus  terarah pada penggenapan dirinya. Manusia tidak pernah benar-benar sama dengan orang lain, bahkan dalam kasus pasangan kembar siam sekalipun. Selain itu perbedaan membuat manusia memahami apa yang menjadi kekhasannya yang membedakan dia dan orang lain, atau kelompoknya dengan kelompok lain. Pengetahuan ini dapat direalisasikan dalam hubungan intersubjektif antara Aku dan Liyan atau yang disebut Riyanto sebagai Aku-Engkau Komunikatif.

Namun idealitas itu tidak selalu terwujud dalam keseharian. Hal tersebut terbukti dari masih banyaknya garis-garis tegas masyarakat ekslusif, kesenjangan sosial, persekusi seorang kepada yang lain, dan lain sebagainya. Peristiwa yang marak terjadi belakangan ini seperti ekslusifitas agama dan kelompok ekstrimis merupakan bukti nyata bahwa hubungan Aku dan Liyan tidak mudah dipahami oleh beberapa pihak. Kegagalan membaca wajah sesama menyebabkan Liyan seakan tampak berbeda, sangat berbahaya dan mengancam kebenaran yang ada pada dirinya. Namun kegagalan ini tidak nampak pada hari ini saja, kegagalan tidak hanya hadir di demo di Monas, di depan kantor KPU atau di dalam keluarga yang berpisah karena perbedaan partai. Tragedi besar Holocaust pada masa Perang Dunia II membuka mata manusia bahwa kegagalan membaca wajah nyaris mampu membinasakan salah satu ras besar di dunia. Kegagalan Nazi dan kaum fasis membaca wajah orang Yahudi dan Gipsi membuat mereka harus mengobarkan kebencian pada kelompok tersebut.

Orang Jerman selama ratusan tahun telah hidup bersama komunitas Yahudi dalam negaranya. Demikian pula orang Polandia, Itali, dan Rusia. Namun beberapa orang menolak melihat para Liyan sebagai pelengkapnya, alih-alih justru ancaman bagi diri mereka. Pandangan ini merupakan bukti bahwa orang Yahudi dipandang sebagai orang ketiga, di luar Aku (orang Jerman aktivis Nazi) dan Kamu (sesama Jerman). Batasan ini ditegaskan oleh ideologi Nazi (Nationalsozialismus) dan negasi terhadap agama Yahudi sebagai agama non-Kristiani. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Riyanto, “Ideologi dari sendirinya menciptakan suatu bentuk formalisasi suatu zona bagi para Liyan atau mereka yang berada di wilayah orang ketiga.” Demikian penyikapan formalitas pengikut Nazi dan masyarakat Jerman yang mempercayai keunggulan ras-nya.

Para idealis Nazi ini berusaha membangun batas tegas antara hidup mereka dan orang di luar mereka, sebagaimana yang dituliskan Riyanto dalam Relasionalitas Dialogal mengenai fatalitas absolutisme dihadirkan dalam ruang publik. Orang Yahudi harus menggunakan begde bergambar Bintang Daud, harus melaporkan kegiatannya kepada pemerintah, harus mengalami keterpisahan fasilitas umum, hingga akhirnya dideportasi ke kamp konsentrasi dimana disebutkan oleh orang Jerman sebagai lokasi “pemersatu komunitas Yahudi”. Di kamp konsentrasi mereka tidak hidup dengan bebas, nyata justru diperlakukan sebagai hewan dengan tato kode di lengan, pencukuran rambut, perampasan hak milik, dan kerja paksa. Anak-anak atau orang tua yang tidak lagi mampu bekerja ‘diberhentikan’ di dalam kamar bergas Ziklon. Ideologi yang menciptakan idealisasi hidup berkembang sekaligus menciptakan liang lahat bagi mereka yang berada di luar idealisasi tersebut. Kemuraman orang Yahudi dan beberapa ras lain seperti Khatar dan Gipsi yang dihapuskan selama masa kejayaan Nazi telah usai. Meninggalkan luka bagi korban, duka bagi kemanusiaan, dan ingatan yang mendalam atas hadirnya satu kegagalan membawa wajah. Para Jerman lainnya, sebagaimana seorang filosof Jerman, Martin Heidegger hanya mampu bungkam ketika negaranya berlaku keji. Heidegger muda sendiri menyatakan dalam Being and Time bahwa keberadaan Dasein bersama Others ada dalam keseharian manusia. Demikian ia menyatakan:

These beings are neither objectively present nor at hand, but they are like the very Da-sein which frees them- they are there, too, and there with it. So, if one wanted to identify the “world” is also Da-sein.

Heidegger, 111.

Secara lugas Heidegger menyatakan bahwa (these) beings atau Da-sein tidak hadir secara objektif namun juga tidak hadir menyerupai Da-sein yang membebaskan – mereka ada di tempat yang sama, dan bersama-sama dia. Jadi apabila ingin mengidentifikasi secara lugas, apa yang disebut sebagai “dunia” adalah juga Da-sein itu sendiri. Pendapat ini mendasari pemahaman bahwa manusia sebagai sosok yang be-Ada hanya dapat melengkapi keberadaanya dengan ke-ber-Ada-an yang lain. Proses yang dijelaskan oleh Heidegger ini gagal dilaksanakan oleh para anggota Nazi.

Rasionalitas manusia menyingkap kenyataan bahwa mereka, atau para Liyan tidak kemudian gagal dalam menemukan pelengkap dari ke-ber-Ada-annya. Kebermaknaan manusia terus ada walau hidup di dalam kerangkeng, tidur beralas tanah dan bernafas dalam pengawasan pasukan SS. Mereka masih memiliki keinginan untuk melihat dunia melalui harapan. Hal ini nampak dalam tiga sinema karya penulis dan produser film berdarah Yahudi, Roberto Benigni, Radu Mihaileanu, dan Peter Kassovitz. Narasi dan konteks Liyan dalam sinema Life is Beautiful (1997), Tram de Vie (1998)dan Jacob the Liar (1999) dapat digambarkan pada tiga paragraf di berikut:

Dalam Life is Beautiful,Guido Orefice adalah seorang Yahudi-Itali yang jatuh cinta terhadap seorang gadis lokal yang kaya bernama Dora. Orefice adalah pemuda yang riang, yang membuat Dora bersedia menikahinya walau harus hidup secara sederhana. Keluarga kecil tersebut akhirnya mendapatkan seorang anak laki-laki yang dinamai Glosue Orefice. Namun keluarga ini tidak hidup dengan tentram karena di Itali, banyak masyarakat yang mulai membenci orang Yahudi. Toko kecil Orefice dirusak warga hingga akhirnya keberadaan mereka dilaporkan kepada petugas Nazi yang berada di Italia. Guido dan Orefice kecil ditangkap, dipisahkan dari Dora. Guido dibawa ke kamp Bergen-Belsen bersama Glosue kecil yang juga dianggap berdarah yahudi. Di kamp, Glosue yang kebingungan dihibur oleh sang ayah. Guido menceritakan bahwa semua ini adalah permainan drama, dan bahwa ia sedang mengajak Glosue berjalan-jalan. Pada saat yang dinanti, ibunya, Dora akan menjemput mereka dan mereka akan berkumpul kembali. Kebohongan Guido bertahan hingga pada masa ketika Nazi mulai dikalahkan oleh Rusia. Para perwira SS hendak memindahkan tawanan dari kamp konsentrasi ke tempat lain demi memindahkan kekeuatan teror Jerman. Di malam perpindahan itu Guido berencana menyembunyikan Glosue di sebuah kotak agar tidak ikut berpindah ke kamp konsentrasi barubersama tahanan lain. Ia berpesan pada Glosue untuk tetap diam di dalam kotak hingga tentara berseragam berbeda datang. Kali ini Guido mengatakan bahwa permainan petak umpet dilaksanakan mulai malam hingga pagi hari. Selepas Guido mengamankan anaknya, dia berjalan seperti seorang perwira, memberi hormat pada anaknya yang sabar menjalani permainan sampai akhir. Pada beberapa langkah tegap terakhir Guido, salah satu perwira SS melihatnya dan menembaknya hingga tewas. Bagi Guido, ia tahu ia tidak akan selamat namun sang anak harus tetap hidup dan memiliki harapan, walau di tengah kebohongan. Guido tewas dalam langkahnya menyelamatkan sang anak. Namun Glosue selamat dan dapat kembali bertemu ibunya bersama dengan pasukan sekutu.

Sementara dalam Tram de Vie, Schlomo adalah pemuda Jerman-Yahudi yang dianggap seorang gila memperingatkan orang desanya untuk mempersiapkan eksodus ke Palestina. Awalnya kabar Schlomo dianggap sebagai berita palsu hingga berita-berita lain menyusul dari datangnya petugas pos. Komunitas Yahudi di desa Schlomo memutuskan untuk mempercayai Schlomo dan merencanakan pelarian menggunakan kereta api ke Palestina via Rusia. Kereta api Schlomo dan penduduk desa didesain menyerupai kereta api Nazi sebagai usaha penyamaran. Sebagian putra desa menggunakan seragam perwira SS dan sebagian lagi bersembunyi di gerbong-gerbong seakan tawanan. Pada hari sabat kereta berhenti agar semua dapat beribadah, baik warga desa biasa maupun yang menggunakan seragam SS, sementara sebagian pemuda yahudi komunis menolak beribadah. Kelompok komunis lain yang berada di sekitar jalur kereta berkeliling untuk menghancurkan kereta SS sebagai bentuk perlawanan terhadap fasisme. Mereka mengincar kereta Schlomo dan warga desa. Setelah mengawasi ibadah sabat (baik ‘tawanan’ dan ‘perwira SS’ serta pemuda komunis lain yang dengan santai duduk di sekitar kereta) dari kejauhan, mereka urung melakukan sabotase karena putus asa kebingungan dengan peta ideologi yang ada di Jerman. Perjalanan Schlomo berlanjut melewati kampung-kampung Jerman yang sudah dikuasai Nazi, ia juga bertemu dengan sepupunya beserta sekelompok gipsi yang sedang melakukan pelarian ke Rusia menggunakan truk-truk Gestapo. Schlomo menawarkan kepergian bersama menggunakan kereta hingga terjadi pertemuan budaya antara yahudi dan gipsi. Selanjutnya kereta dihadang serangkaian mortas, namun para penumpang bahagia karena serangan tersebut menandakan mereka telah melewati batas Jerman-Rusia. Schlomo sebagai narator cerita yang jenaka, selanjutnya mengisahkan kesuksesan para tetua desa, para pemuda komunis, para gipsi, serta gadis pujaannya pasca tiba di Rusia. Namun di akhir kalimat mengenai keadaannya pasca turun dari kereta, Schlomo mengatakan “Ye nu, almost the true story!”. Layar sinema tiba-tiba mengundurkan skema hingga penonton dapat melihat piyama loreng a la kamp konsentrasi. Schlomo tidak sedang berada di Rusia atau tempat ia bebas dimanapun. Ia sedang tertawan oleh Nazi. Seluruh ceritanya merupakan bangunan imajinasinya, bangunan harapan orang yang tertindas.

Cerita yang hampir serupa ada di dalam Jacob the Liar melalui tokoh Jacob Heym. Heym merupakan seorang penjaga toko berdarah Yahudi-Polandia yang tertangkap bersama ribuan yahudi lainnya di sebuah kamp konsentrasi di Polandia. Heym menceritakan sebuah rumor di antara kawan-kawan tahanannya bahwa ia dapat mendengar sebuah radio mengenai kondisi di luar gheto. Heym menceritakan secara jenaka keselamatan seorang gadis dari kamp konsentrasi dan bagaimana tentara Rusia memerangi Jerman. Rumor Heym membawa pengharapan bagi kawan-kawannya dan membuat kondisi psikologis mereka membaik. Namun rumor membahagiakan ini terdengar oleh Gestapo sehingga mereka mencari pihak yang memberitakan rumor tersebut. Komandan kamp menemukan Heym, dan bertanya darimana ia mendengar radio. Heym mengaku bahwa ia mendengar berita perlawanan Rusia dar i kantor sang komandan, yang kemudian ia kembangkan sendiri agar daya hidup teman-temannya bangkit kembali. Komandan tersebut memberi kesempatan Heym hidup mengklarifikasi kebohongan yang ia bangun, dan Heym menerimanya. Namun sesaat setelah Heym dihadirkan di depan penghuni kamp, Heym justru mengafirmasi rumornya sebagai kebenara. Komandan Gestapo marah dan menembak mati Heym, namun semangat hidup seluruh penghuni kamp tetap hidup. Kisah post-mortem Heym menggambarkan kereta api yang pergi untuk membebaskan para tahanan yahudi, tidak lama setelah kematian Heym. Rusia benar-benar mengalahkan Nazi Jerman dan membebaskan tahanan Yahudi. Para gadis benar-benar dapat selamat dari kamp konsentrasi seperti rumor yang disebarkan oleh Heym. Sementara Hym tewas, namun meninggalkan harapan.

Tiga sinema ini memiliki selisih waktu yang tidak singkat, yaitu sepuluh dan duapuluh tahun antara Life is Beautiful, Tram de Vie, dan Jacob the Liar. Namun dalam kurun waktu selama itu, ternyata para produsernya membuat banyak kesamaan baik dalam setting cerita maupun nilai yang dibawa. Secara umum kesamaan dari ketiga sinema tersebut digarisbawahi oleh latar belakang tiga orang Yahudi yang menjadi peran utama dalam film ini. Selain itu kesamaan di antara ketiganya adalah pertama: baik Guido, Schlomo dan Heym merupakan tiga tawanan yang hidup di dalam kamp konsentrasi. Kedua, kehidupan mereka sebelum perang sama seperti kehidupan masyarakat lainnya, tidak spesial ataupun unik melebihi yang lain. Ketiga, tiga tokoh ini juga menciptakan penghiburan terhadap orang sekitarnya, baik keluarga, warga desa, atau kawan-kawan di kamp konsentrasi. Ketiganya berbohong dan mengarang cerita untuk menciptakan kegembiraan dan harapan. Keempat, baik Guido atau Heym (tidak diceritakan apa yang terjadi pada Schlomo) konsisten atas upayanya hingga akhir hayat. Kesamaan yang kelima, adalah bahwa ketiga tokoh ini diciptakan jenaka. Kelima kesamaan ini membuat tiga sinema di atas layak dikaji sebagai bentuk literasi digital yang menyodorkan nilai atas kebermaknaan manusia di tengah teror.

Sebagaimana penjelasan setting koersifitas zona isolatif Nazi yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua pembahasan penting dalam hubungannya dengan nilai yang dibawa oleh tiga sinema di atas. Pembahasan yang pertama adalah mengenai kebermaknaan manusia yang tampil dalam fenomena ketiga tokoh (Guido, Schlomo, dan Heym), yang konsisten menceritakan kebohongan demi membangun harapan. Sementara pembahasan kedua adalah bagaimana situasi teror dapat membawa kejenakaan dalam sebuah sinema? Apa landasan munculnya roman comedy dari realitas yang diwakilkan dalam sinema? Pembahasan yang pertama akan kembali merujuk makna keberadaan manusia yang dijelaskan oleh Heidegger, sementara pembahasan kedua merujuk kepada pembacaan realitas yang dipaparkan oleh Riyanto. Keduanya terkait dalam membangun nilai yang hendak disampaikan oleh ketiga produser film dalam menyampaikan besarnya kemanusiaan pada kondisi apapun.

Pembahasan yang pertama mengenai kebermaknaan manusia dalam tiga sinema ini nampak dari kepedulian dan kemawasan (care atau sorge) dari para tokohnya terhadap keadaan. Baik Guido, Schlomo dan Heym memahami bahwa kehidupannya tidak lagi sebaik dahulu. Mereka memahami konteks hidup dimana ia dan saudara-saudarinya telah hidup di luar keseharian para Nazi, mereka terasing, diperas dan dilupakan. Kemawasan tiga tokoh ini dirupakan dalam usaha membangun narasi yang bahagia. Guido menarasikan kehidupan sebagai permainan di depan anaknya, Schlomo menarasikan kebebasan orang-orang desa di depan penonton, serta Heym menarasikan kebebasan yang tidak lama lagi datang di depan kawan-kawan kamp konsentrasi-nya. Narasi yang ketiganya bangun ditujukan untuk membangun harapan bagi para pendengarnya.

Dalam kamp konsentrasi, baik tubuh dan jiwa manusia dibunuh. Benda dapat diperlakukan lebih istimewa dibandingkan manusia karena mereka yang hadir di sana. Dengan cerita, Guido, Schlomo dan Heym berharap dapat menghadirkan harapan. Dan dengan harapan, maka jiwa manusia tidak lagi mati. Harapan mengembalikan keterarahan hidup manusia kepada keberadaannya. Bagi jiwa yang mati, pemahaman tentang dirinya hanya berupa pemahaman dangkal semisal: aku tahanan, aku disiksa, aku akan mati. Namun dengan adanya harapan, maka pemahaman manusia atas dirinya akan meningkat semisal: aku tahanan dan aku akan bebas, aku disiksa karena kebodohan Nazi dan hal tersebut tidak dapat menyiksa jiwaku,, aku akan mati sebagai manusia yang berani menghadapi kematian, dan seterusnya. Selain itu bagi ketiga tokoh utama sendiri, kebermaknaan mereka justru terletak pada harapan yang mereka sebarkan. Dengan penyikapan itu mereka memahami bahwa jiwa manusia tidak boleh berhenti memiliki keterarahan. Bahwa orang lain (anak, orang desa, atau para tanahan) akan terus ada di samping mereka dan orang lain itulah bentuk penggenapan makna diri mereka.

Pembahasan kedua mengenai kejenakaan tiga sinema di atas dapat dimulai dari pembahasan mengenai tempat atau locus dimana kemanusiaan seharusnya berada. Kemanusiaan seharusnya ada di setiap saat, di setiap diri manusia, di setiap kehadiran manusia satu dan yang lainnya. Kemanusiaan merepresentasikan kehadiran manusia beserta kesamaan dan perbedaan di antara mereka. Namun teror yang hadir pada saat Perang Dunia II, yang dihadirkan oleh pasukan Nazi merupakan penihilan yang mutlak atas kemanusiaan. Hal ini bukan lagi berupa narasi melainkan faktisitas dimana manusia bagi mereka tidak memiliki nilai apapun, hal ini telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya mengenai kegagalan mereka membaca wajah. Tiga sinema ini selanjutnya membawa harapan dalam bentuk narasi yang tidak sesungguhnya ada mengenai keselamatan. Posibilitas dan kemampuan untuk memaknainya merupakan bentuk pemaknaan manusia atas keberadaannya. Sebagaimana Riyanto menyatakan bahwa makna yang mungkin harus tetap dicari. Tiga tokoh ini memaknai hidupnya dengan mencari posibilitas di dalam teror hidup mereka.

Pertentangan atas kondisi teror dan harapan merupakan hal yang jarang terperhatikan, atau muncul dalam keseharian. Teror yang telah tegas hadir ternyata tidak dapat meruntuhkan harapan manusia atas kondisi yang baik bagi dirinya. Teror juga tidak dapat menekan kemanusiaan manusia baik dalam bentuk koersifitas apapun. Pertemuan antara teror dan narasi atas harapan merupakan salah satu pertemuan yang janggal. Harapan biasa ada pada kondisi manusia yang sedang menjalani kesehariannya. Harapan biasanya hadir pada manusia yang sedang mampu menggunakan rasionalitasnya dengan baik. Namun melalui tiga sinema ini para penulis membuktikan bahwa harapan juga dapat muncul pada teror yang dibangun oleh Nazi. Kelangkaan ini menimbulkan komedi bagi penonton. Komedi sendiri, merupakan kemunculan sesuatu yang tidak biasa. Kejenakaan merupakan impuls dari pengetahuan manusia mengenai kondisi yang anomali atau tidak biasa. Suatu humor dapat tercipta bila ada suatu momen yang muncul pada kondisi yang tidak seharusnya, suatu kelangkaan.

Secara keseluruhan, ketakutan, kesedihan dan harapan merupakan State-of-Mind manusia. Hal ini merupakan kewajaran dari manusia rasional. Bagi Heidegger, ketakutan adalah mode penyesuaian diri. Heidegger menyatakan hal tersebut sebagai mode of co-attunement, dimana manusia dapat merepresentasikan konteks pada dirinya. Dengan demikian maka ketakutan merupakan apa yang diolah oleh sorge sehingga dalam studi kasus sinema ini dimunculkan dalam bentuk harapan. Dalam artian lain, manusia dapat mengalami ketakutan yang masuk akal, yang natural, alamiah, selama ia memahami konteks yang berlangsung pada dirinya. Kebermaknaan mulanya dipahami malalui proses memahami konteks, mendengarkan ketakutan, dan akhirnya bersikap dalam kemawasan. Baik Guido, Schlomo, dan Heym memahami apa yang terjadi pada dirinya, mereka merasakan ketakutan dan memutuskan untuk tidak mematikan jiwa dalam gelap teror melainkan memastikan maknanya dalam dunia melalui penciptaan narasi mengenai harapan kepada orang-orang terdekatnya.

Melalui tiga sinema Life is Beautiful, Tram de vie, dan Jacob the Liar dapat dilihat bahwa makna manusia tidak dapat hilang, bahkan dalam teror yang diciptakan oleh manusia lain sekalipun. Manusia yang menciptakan teror sebagaimana para Nazi menekan orang lain yang berada di luar zona ideologisnya, pada hakikatnya mengalami kegagalan dalam membaca wajah sesamanya. Kaum Yahudi atau Gipsi merupakan orang lain yang kepada mereka, para Jerman seharusnya membangun ikatan intersubjektif. Kegagalan para Nazi membaca wajah para liyan menyebabkan kebermaknaanya sendiri hilang. Melalui kajian mengenai tiga sinema di atas dapat disimpulkan bahwa pengharapan yang hadir di dalam teror merupakan suatu yang tidak mudah dan jarang ditemukan. Keanehan ini menimbulkan kejenakaan dalam cerita. Baik Guido, Schlomo, dan Heym merupakan representasi sosok manusia yang sebenarnya. Ketiganya membawa makna kemanusiaan kepada sesama dimanapun mereka berada, baik dalam keseharian maupun dalam kesedihan. Makna manusia tidak akan terhapus oleh koersifitas apapun. Justru sebaliknya makna manusia dapat hilang apabila kita gagal membaca dan merepresentasikan nilai manusia dalam diri orang lain, para Liyan.

Rujukan

Benigni, Roberto. Life is Beautiful. Cechi Gori Group: Italy,20 Desember 1997. Film, disaksikan tanggal 26 Maret 2019.

Mihaileanu, Radu. Tram de Vie. Radu Mihaileanu Film: Rumania, 5 September 1998. Film, disaksikan tanggal 24 Maret 2019.

Kassovitz, Peter Jacob the Liar. Blue Wolf Productions dan Kasso Inc.: United State of America, 24 September 1999. Film, disaksikan tanggal 26 Maret 2019.

Heidegger, Martin. Being And Time. Joan Stambaugh (trans.) State University of New York Press: New York, 1996.

Riyanto, Armada, CM. Aku dan Liyan, Widya Sasana Publication: Malang, 2011.

———. Relasionalitas, Filsafat Fondasi Intrepretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2018.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.