Persoalan yang harus diperjelas dalam pengertian estetika adalah pertanyaan apa persisnya yang dimaksudkan oleh estetika itu sendiri. Meski demikian, kita akan menghadapi bahwa definisi estetika mengalami perubahan dan perkembangan di tiap zaman.
Secara etimologi, estetika berasal dari kata sifat dalam Bahasa Yunani yakni aisthetikos, yang artinya “berkenaan dengan persepsi”. Bentuk kata bendanya adalah aisthetikos yang artinya “persepsi dengan indrawi”. Sedangkan kata kerja bagi orang pertama adalah aisthanomai, yakni “saya mempersepsikan”. Pengertian kata “inderawi” di sini sangat luas, ia meliputi penglihatan, pendengaran, sekaligus juga perasaaan. Dalam konteks Yunani klasik, istilah ini dibedakan dari noesis atau “persepsi konseptual” serta pikiran (Tatarkiewicz dalam Suryajaya, 2016).
Istilah “estetika” sebagai “filsafat seni” baru muncul pada abad ke-18 dan diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten dalam karyanya yang berjudul Meditasi Filosofis tentang Beberapa Hal Berkaitan dengan Puisi. Ia mengenalkan estetika sebagai kajian keindahaan perseptual (Goldman dalam Suryajaya, 2016). Baumgarten meneruskan distingsi dua istilah Yunani yaitu noesis dan aesthesis, dan memilah dua jenis pengetahuan: cognitio intellectiva dan cognitio aesthetica. Dua jenis pengetahuan ini yang nantinya akan dikenal dalam bentuk ringkasnya sebagai aesthetica (estetika).
Istilah estetika sebagai disiplin filsafat seni bisa dikatakan baru. Sebelum Baumgarten, para pemikir mengkaji kesenian tanpa terpisah secara konseptual dari cabang-cabang kehidupan lain. Para pemikir abad pertengahan memiliki kecenderungan membahas keindahan dalam kerangka teologis mengenai semesta. Mereka tidak menggunakan estetika sebagai pendekatan otonom tentang kesenian. Bahkan, otonomi tersebut justru merupakan hal yang janggal bagi mereka.
Melalui proses ini sebenarnya kita sudah dapat menarik kesimpulan sementara bahwa estetika adalah filsafat kesenian, dan pengertian inilah yang akan jadi pegangan awal kita untuk dapat mengkaji lebih dalam perihal filsafat kesenian. Lebih lanjut lagi, muncul pertanyaan: mengapa estetika tidak dikatakan sebagai filsafat keindahan? Hal ini dapat dijawab setidaknya dengan dua alasan: (1) Karena keindahan hanya merupakan salah satu nilai dalam estetika, terdapat hal lain di samping keindahan misalnya pengetahuan dan kesubliman. (2) Estetika tidak hanya membahas nilai estetis saja, tetapi juga tentang pengalaman estetis, status ontologis sebuah karya, hubungan antara seni dan masyarakat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kiranya lebih tepat jika estetika diartikan sebagai “filsafat seni” bukannya “filsafat keindahan”.
Metode Estetika
Estetika memiliki kesamaan metode dengan filsafat secara umum. Pendekatan estetika berbeda dari pendekatan sejarah dan kurasi seni sebagaimana diketahui secara umum. Perbedaan antara metode sejarawan seni, kurator, dan estetikawan dapat dipotret dalam jenis-jenis pertanyaan berikut:
Pertanyaan sejarawan seni:
- Apakah Beethoven merupakan seorang komponis klasik atau romantik?
- Apa perbedaan antara seni klasik dan romantik?
- Apa yang menjelaskan peralihan dari art nouveau ke art deco?
Pertanyaan kurator:
- Apa makna karya dari lukisan Affandi berjudul Perahu Mancar?
- Bagaimana menjelaskan karya performance Ai Weiwei yang menjatuhkan keramik dari Dinasi Han dalam konteks kebudayaan Cina Modern?
- Di mana letak signifikansi karya-karya Sudjana Kerton dalam lanskap politik anti-kolonialisme Indonesia?
Sedangkan pertanyaan estetikawan:
- Apa yang membuat suatu karya menjadi indah? Apakah karya Fountain Marcel Duchamp yang dipamerkan di Society of Independent Artists sama indahnya dengan tempat urinal biasanya yang dijual di toko bangunan?
- Kapankah barang yang dipesan seniman dari pengrajin berubah menjadi karya seni? Apakah sejak diciptakan oleh pengrajin, dikonsep oleh seniman, atau ketika karya tersebut dipamerkan?
- Apakah karya Edward Hopper, Early Sunday Morning, tetaplah karya seni ketika tidak ada lagi manusia di bumi ini? Jika “Ya”, maka apakah karya tersebut tetaplah indah? Dan mengapa bisa indah?
Melalui pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat terlihat bahwa pendekatan estetika bergerak dari arah yang lebih abstrak ketimbang sejarah seni maupun kurasi. Keabstrakan ini yang membangkitkan ciri khas pendekatan filsafat seni itu sendiri. Alih-alih bertanya mengenai pertanyaan dengan jawaban yang pasti, pendekatan ini lebih memilih pertanyaan yang mempertanyakan pernyataan-pertanyaan tersebut, hingga dapat menimbulkan pertanyaan baru yang menyebabkan berkembangnya pendekatan ini. Dalam estetika, dibandingkan dengan mempertanyakan mengenai, “Apakah makna Karya A?” atau “Apa perbedaan gaya lukisan atau puisi z dan y?”, lebih mengusahakan pertanyaan seperti, “Apakah yang dimaksud dengan karya seni itu sendiri?”, “Sejak kapan suatu karya seni bisa dikatakan sebagai karya seni?” atau “Apakah yang membuatnya mampu dinyatakan sebagai hal yang indah?”
Estetika sebagai filsafat seni merupakan pendekatan kesenian yang mengabstraksikan aspek-aspek partikular karya hingga dapat sampai pada kesimpulan mengenai masalah-masalah dalam kesenian. Sebagai salah satu cabang filsafat, estetika juga mewarisi cabang kajian filsafat lainnya. Semisal:
- Ontologi yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hakikat kenyataan.
- Epistemologi yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai asal-usul pengetahuan serta asas-asasnya.
- Filsafat sosial yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hubungan serta asas-asas yang bergerak dalam masyarakat
Demikian pula dengan estetika, terdapat juga hal yang sama dalam ketiga cabang tersebut:
- Ontologi seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hakikat karya seni serta manusia sebagai bagian dari keberadaan kesenian.
- Epistemologi seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai proses pengetahuan, terutama yang melatarbelakangi penciptaan karya seni dan pemahaman atas karya seni (dalam hal ini misalnya pencercap karya dan artis).
- Filsafat sosial seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hubungan antara kesenian dan masyarakat (termasuk etika dan politik yang bergerak karena kesenian).
Selanjutnya, dalam persoalan mengenai metode estetika, kerap memunculkan kemungkinan di mana seorang estetikawan menawarkan metodenya sendiri untuk mengupas masalah filosofis dalam kesenian. Contohnya seperti, Plato dan Aristoteles yang menggunakan pendekatan etis (baik dan buruk) dalam menempatkan masalah estetik, atau Agustinus dan Thomas Aquinas (serta estetikawan abad pertengahan Eropa lainnya) yang menggunakan pendekatan teologis. Contoh lain terdapat dalam catatan mengenai sejarah filsafat modern di mana para filosof menggunakan pendekatan romantik dan rasional. Melalui perkembangan ini dapat dipahami bawah estetika merupakan konsep yang terus dipermasalahkan dan memiliki perbedaan pandangan dari tiap-tiap fase perkembangannya.
Manfaat Estetika
Secara umum dapat dikatakan bahwa estetika bermanfaat untuk menjawab permasalahan-permasalahan kesenian. Contohnya ialah dalam menjelaskan efek globalisasi yang menyebabkan kemudahan masuk dan keluarnya budaya yang berbeda hingga mampu mempengaruhi kesenian daerah. Pertanyaan semacam ini memunculkan perdebatan klasik seperti: apa definisi seni, bagaimana menentukan nilai estetis sebuah karya seni, apa fungsi kesenian, atau apa hubungan antara seni serta persoalan sosial-politik. Selain itu, kedatangan media baru (new media) juga mewarnai pembahasan mengenai kesahihan sebuah benda dikatakan sebagai karya seni.
Dalam paradigma kritis hari ini, perkembangan wacana kesenian di Indonesia dianggap masih berputar dalam karya-karya tulis kuratorial, reportase pameran, atau apresiasi bebas atas karya. Para pewacana kesenian di Indonesia masih belum melakukan kritik melalui pendekatan estetika. Artinya kritik dan diskursus estetis yang terbangun belum dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pembicaraan filosofis dalam rupa kritik seni, maka para estetikawan tidak boleh cukup puas dengan pengetahuan atas sejarah seni atau peta kesenian Indonesia. Para estetikawan juga perlu mengembangkan pengertian-pengertian baru dalam lingkup lain seperti perkembangan paradigma dan sains yang nantinya dapat diandalkan dalam diskursus estetika atau filsafat seni. Pengetahuan estetika merupakan prasyarat bagi lahirnya kritikus seni. Melalui usaha ini kritikus mampu mendekati kesenian dari perspektif keilmuan, dan menyediakan kerangka pangan yang paling dasar atas permasalahan-permasalahan kesenian. Sebagai cabang filsafat, estetika menjabarkan otonomi gagasan mengenai kesenian sehingga ragam gagasan seni dapat terpetakan, baik asumsi hingga implikasinya. Dengan memetakan struktur gagasan kesenian, estetika menjadi jalan panjang yang penting untuk dikembangkan, utamanya bagi para kritikus seni dan seniman dalam proses penciptaan karya seni.[1]
Pustaka
Martin Suryajaya. 2016. Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel dan Indibook Corner
[1] Martin Suryajaya. 2016. Sejarah Estetika