Membaca novel Zadig atau yang dalam bahasa aslinya Zadig Ou La Destinee (1747) karya Voltaire ini seketika mengingatkan saya pada sebuah problem filosofis klasik yang dikenal dengan istilah Paradox Epicurean. Secara singkat, ide dasar dari paradoks yang disampaikan oleh Epicurus tersebut yaitu: apakah Tuhan mau menindak kejahatan tapi ia tak mau? Maka ia tidak maha kuasa; Apakah Tuhan mampu tapi tak mau? Berarti Tuhan jahat; Apakah Tuhan mampu dan mau? Dari mana datangnya kejahatan? Apakah Tuhan tak mampu dan tak mau? Lalu mengapa disebut Tuhan?
Dalam novel tersebut, Voltaire menciptakan tokoh rekaan yang bernama sama dengan judul novel, Zadig. Sebagai seorang pemuda yang baik, bijaksana, dan cerdas, Zadig yang merupakan penganut agama Zoroaster yang saleh harus menghadapi pelbagai lika-liku perjalanan yang mencekam. Penuh penderitaan dan kemalangan. Ada 21 bagian dalam novel tersebut yang mengisahkan perjalanan Zadig dari satu problem ke problem lain. Dari satu kejahatan ke kejahatan lain. Kebahagiaan terasa seperti omong kosong dan Tuhan… Itulah yang terus dipertanyakannya.
Hampir semua babnya bercerita tentang kejahatan manusia-manusia serta penderitaan yang ditemui Zadig. Dari keseluruhan, dapat dibagi sebagai berikut: Pertama, kejahatan yang berbentuk pengkhianatan. Voltaire memberi contoh pada kehidupan Zadig yang harus dikhianati oleh istrinya, Semira, yang hidupnya telah diselamatkan oleh Zadig dari serangan sekelompok orang yang menginginkan Semira. Zadig berkorban hingga salah satu matanya sakit dan terancam buta. Karena hal tersebut, Semira tak lagi mencintai Zadig karena hanya mampu menggunakan sebelah matanya.
Tak cukup itu, setelah ia menikah lagi dengan gadis lain bernama Azora, ia juga dikhianati oleh istrinya. Zadig, lagi-lagi merasa bahwa hidupnya hanya berisi penderitaan, padahal ia selalu memberikan kebaikan dalam hidupnya.
Selain pengkhianatan, bentuk kejahatan lain yang digambarkan Voltaire dalam novel tersebut adalah kesewenang-wenangan dan kesombongan. Dalam hal ini, Zadig, bertemu dalam perjamuan orang-orang yang saling menyombongkan latar belakangnya masing-masing. Pada bagian “Wanita yang Dihajar” (hlm. 59) dan “Pembakaran Janda” (71), betapa kesewenang-wenangan laki-laki pada perempuan, dan kesewenang-wenangan penguasa pada rakyatnya.
Zadig juga bertemu dengan seorang nelayan yang hendak mengakhiri hidupnya karena hidupnya sangat malang. Kemalangan nelayan tersebut juga sebuah bentuk kesewenang-wenangan istana yang berkuasa pada saat itu kepada rakyatnya. Hingga akhirnya Zadig memberikan sebagian hartanya pada nelayan tersebut agar ia tidak mengakhiri hidupnya secara sia-sia. Lagi dan lagi, Zadig yang bijaksana selalu menjumpai kejahatan dan penderitaan dalam perjalanan hidupnya.
Terakhir, kejahatan-kejahatan yang ditemui dan dialami oleh Zadig berupa keserakahan. Zadig yang merupakan seorang bijaksana dan jujur selalu kalah oleh kejahatan, apalagi oleh bentuk keserakahan. Voltaire menunjukkannya pada bab “Si Perampok” (hlm. 103) dan “Si Perdana Menteri” (hlm. 37). Keserakahan itu berpengaruh pada Zadig yang harus menerima kemalangan, seperti terkucilkan dan terusir dari tempat ke tempat.
Beragam kejahatan itu membuat Zadig merasa menderita. Menjelang akhir cerita, Zadig menganggap bahwa Tuhan tidak adil. Namun anggapan tersebut terbantahkan saat Zadig dalam keputusasaannya bertemu dengan seorang pertapa yang bijaksana. Pertemuannya dengan Pertapa tersebut membuat Zadig bangkit, hingga akhirnya Zadig menjadi seorang raja dan berbahagia. Dalam kebahagiaannya, Zadig memuliakan Tuhan dan semua orang memuliakan Zadig.
Menggugat Tuhan
Apa yang disampaikan oleh Epicurus dalam Paradox Epicurean yang saya kutip di atas agaknya memang sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Zadig dalam perjalanannya dengan penderitaan dan kemalangan yang beruntun. Hidup seakan-akan tak pernah memberinya kebahagiaan dan Tuhan seakan-akan tak pernah berpihak pada Zadig—yang baik, bijaksana, dan tak pernah bertindak jahat. Justru orang-orang jahat yang ditemui Zadig di perjalanan itulah yang acapkali hidupnya beruntung dan terlihat baik-baik saja.
“Tuhan!” Kata Zadig pada diri sendiri. “Betapa malangnya orang yang kebetulan berjalan-jalan di hutan yang telah dilewati oleh anjing Sang Ratu dan kuda Sang Raja! Betapa berbahayanya jendela rumah! Dan betapa sulitnya berbahagia dalam hidup ini!” (hlm. 24),
Dalam rongrongan penderitaannya, Zadig tak henti-henti bergejolak dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa saat ia berbuat baik dan bijak, justru penderitaan yang ia dapatkan. Bagaimana bisa, saat ia berupaya untuk membebaskan penderitaan orang lain, malah justru ia sendiri yang terasing dan ditaklukkan. Pendek kata, semua kebaikan dan kebijaksanaannya justru menjadi pembuka pintu penderitaan yang baru baginya. Begitu seterusnya.
“Bagaimana aku bisa bahagia? Di dunia ini semua menindasku, bahkan makhluk yang tak benar-benar ada sekalipun!” (hlm. 27).
Melalui Zadig, ragam penderitaan manusia seakan-akan sedang digambarkan secara gamblang oleh Voltaire. Sebaik apapun manusia, sebijak dan secerdas apapun manusia, penderitaan tak akan lenyap begitu saja. Mempertanyakan atau bahkan menggugat Tuhan menjadi hal yang maklum hinggap di benak semua manusia ketika pelbagai kemalangan menyentuhnya. Manusia akan selalu mempertanyakan kemahabaikan Tuhan dalam keadaan dunia yang chaos dan menyakitkan.
Bahkan dalam keadaan demikian, manusia akan mempertanyakan persoalan filosofis, di antaranya persoalan moral. Apakah manusia dapat membuat pilihan moral sendiri? Apakah manusia memiliki kehendak bebas, atau manusia hanya pionir dalam genggaman Tuhan, atau apakah segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah peristiwa acak, kebetulan, dan tak dapat dikendalikan oleh manusia?
“Apa memang hidup manusia harus seperti ini? O Kearifan! Untuk apa aku bersusah payah mencarimu… Semua amal baikku hanya sumber malapetaka bagiku, dan nasib hanya mengombang-ambingkanku. Andai aku jahat seperti banyak orang lain, pastilah aku bisa berbahagia seperti mereka.” (hlm. 58)
Keberadaan dan Keadilan Tuhan
Perjalanan Zadig yang malang dan penuh penderitaan menemui kilas balik saat pertemuannya dengan Pertapa yang, ternyata, jelmaan dari Malaikat Jesrad. Dalam langkah gontainya menyusuri kubangan penderitaan, pertapa tersebut menyadarkan Zadig dengan mengatakan bahwa, “banyak hal di dunia ini tidak selalu sesuai dengan harapan orang-orang bijak sekalipun.” (hlm. 142).
Zadig kembali bangkit, mengikuti serangkaian sayembara dan pada akhirnya Zadiglah pemenangnya. Zadig diangkat menjadi raja Babilonia mendampingi ratu Astarte. Kehidupan Babilonia menjadi kerajaan yang makmur dan berjaya.
“Kerajaan Babilonia pun menikmati kedamaian, kejayaan, dan kemakmuran; masa kekuasaan Zadig adalah masa paling indah di dunia, karena pemerintahannya didasari oleh keadilan dan kasih sayang. Rakyat memuliakan Zadig, dan Zadig memuliakan Tuhan.” (hlm. 154).
Nampak bahwa Tuhan memiliki peran yang sangat besar dalam mengatur kehidupan manusia, terutama dalam kasus Zadig tersebut. Segala kemalangan dan penderitaan yang diterima Zadig merupakan sesuatu yang pada dasarnya memang telah diatur Tuhan guna menguji Zadig. Dengan kata lain, adanya kejahatan, penderitaan, dan kemalangan pada manusia diperuntukkan pada manusia itu sendiri.
Akhir kata, Paradox Epicurean yang menggurita di kepala saya saat membaca novel Zadig ini dibantah telak oleh Voltaire melalui plot di akhir perjalanan Zadig. Kejahatan dan orang jahat ada sebagai penguji bagi orang baik—Zadig. Kejahatan dan orang jahat ada bukan untuk melahirkan kejahatan bau, melainkan kebaikan-kebaikan baru. Setiap rangkaian kejadian dan peristiwa yang dialami Zadig sebenarnya sangat kompleks dan tidak acak begitu saja. Dunia yang tampak acak, chaos, dan penuh dengan ketidakharmonian—dalam dunia yang dialami Zadig—merupakan pertanda untuk manusia bahwa tugas utama manusia bukanlah mencari kebahagiaan, namun menjadi orang baik. Sebab, seperti kata Albert Camus, orang yang terus mempertanyakan kebahagiaan tak akan pernah berbahagia. Dalam kasus Zadig, Tuhan hadir & kejahatan menjadi getir.
satu Respon