Dalam filsafat Islam, perihal wujud mendapat perhatian yang paling serius. Beberapa ilmuwan seperti Alparslan dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mengetengahkan pandangan bahwa sejarah filsafat Islam didominasi persoalan ontologis mengenai eksistensi. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa persoalan wujud adalah satu-satunya tema yang terus muncul diantara para filsuf muslim, mulai dari Ibnu Sina hingga Mulla Sadra. Maka tak heran bila kemudian hingga dalam kajian yang paling terkini, masalah wujud terus mengemuka. Termasuk tentunya kemudian apa definisi wujud itu.
Manusia mengenal wujud secara intuitif
Menariknya, pasal pertama dalam persoalan wujud menyatakan bahwa makna atau konsep dari wujud itu dapat langsung dipahami oleh manusia. Tidak perlu penalaran yang muluk-muluk dan panjang. Semua orang dapat mengerti secara otomatis apa itu wujud atau ada. Argumentasi untuk tesis ini salah satunya ditopang oleh sistem pengetahuan Islam. Berdasarkan epistemologi Islam terdapat dua jenis pengetahuan. Pengetahuan pertama adalah yang dicapai melalui proses pengamatan atau penginputan dan pengolahan mental. Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan yang hadir begitu saja dalam pikiran manusia.
Nama orang, konsep pagi dan malam, bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi, adalah berbagai hal yang memerlukan penemuan dari individu terhadap pengetahuan eksternal itu untuk kemudian mereka adopsi dan proses melalui mental. Bagian inilah yang disebut sebagai pengetahuan kehasilan (husuli). Sedangkan satu jenis pengetahuan lain disebut sebagai pengetahuan kehadiran (huduri) yaitu pengetahuan yang “tiba dalam jiwa”. Pengetahuan jenis ini juga kadang disebut pengetahuan intuitif mengingat bahwa intuisi itu yang sering disebut sebagai elemen jiwa yang menerima datangnya ilmu hudhuri.
Pengetahuan mengenai wujud karenanya adalah pengetahuan huduri. Setiap manusia dapat mengerti begitu saja apa yang dimaksud dengan wujud atau eksistensi. Baik anak kecil hingga dewasa dapat memahaminya. Perhatikan misalnya bagaimana bayi bisa menangis karena lapar, haus atau kondisi yang tidak nyaman padanya mewujud. Lalu perhatikan bahwa bayi itu diam ketika hal-hal yang dapat memuaskan kebutuhannya itu tiba dan diberikan padanya. Dalam kedua contoh itu bayi telah langsung menyadari ada wujud lain yang akan mendengar tangisannya, serta ada wujud-wujud yang telah melipur kegelisahannya.
Anak kecil pun demikian halnya. Mereka tahu bahwa ayah dan ibu mereka “Ada”. Tanyakan saja, apakah ibumu dan ayahmu “Ada”? Tanpa perlu mengklarifikasi definisi “Ada”, baik penanya dan si anak dapat mengerti yang dimaksud dengan “Ada” itu tadi. Disinilah juga nampak bahwa “Ada” atau wujud merupakan pengetahuan bawaan yang pada setiap manusia sehingga mereka dapat segera mengerti langsung maknanya.
Demikianlah, jika kita mengutip perkataan Mohammad-Taqi Mesbah-Yazdi, bahwa wujud adalah “salah satu konsep yang paling swanyata (jelas dengan sendirinya) yang diabstraksikan oleh akal dari segala sesuatu”. Bahkan pengetahuan yang paling dasar pun kita bentuk dengan predikat “Ada” atau wujud. Tanpa pengakuan kita kepada wujud atau adanya pengetahuan paling sederhana itu, maka pengetahuan lain yang lebih kompleks akan jadi mustahil untuk kita adakan. Jelaslah disini bahwa wujud atau “Ada” merupakan konsep yang niscaya kita miliki dalam benak kita.
Kemustahilan definisi wujud
Maka berikutnya kita akan masuk kepada pasal kedua, bahwa wujud adalah hal yang mustahil untuk didefinisikan. Salah satu argumentasi yang diajukan adalah bahwa definisi merupakan usaha untuk menghasilkan pernyataan yang menjelaskan objek pendefinisian. Percuma saja melakukan pendefinisian jika definisi yang akan dimunculkan itu tidak lebih jelas dari kata yang didefinisikan. Adapun wujud telah dapat kita “rasakan” secara sangat jelas atau gamblang dalam benak kita. Bahwa kita mengerti sesuatu sebagai wujud dan itu mustahil didefinisikan dengan kata-kata secara lengkap, mewakili apa yang kita rasakan.
Toh membuat definisi yang meliputi kesegenapan wujud adalah mustahil. Semuanya wujud. Manusia, hewan, tumbuhan, matahari, bulan dan perangkat yang kita gunakan semuanya wujud (ada/eksis). Apakah yang ada diluar wujud? Hanya ketiadaan! Ketiadaan adalah lawan dari wujud itu juga. Nah, sama halnya dengan wujud atau ada, kita dapat mengenal makna dari ketiadaan. Bahwa keduanya adalah kontradiksi secara makna. Anak kecil, hingga tua dapat mengerti secara intuitif antara “Ada” dan “Tidak ada”.
Berikutnya pula kita dapat mendukung tesis kemustahilan definisi wujud dengan menggunakan prinsip definisi dalam logika. Definisi memerlukan genus dan species. Misalkan saja manusia, biasanya kita definisikan sebagai hewan yang berakal. Hewan adalah genus bagi manusia, sedangkan berakal adalah spesies bagi manusia. Dengan mengubah spesies kita dapat mengubah objek yang sedang didefinisikan. Misal, hewan yang berkicau yang berarti burung, bukan manusia. Atau misal pula, hewan yang meringkih yang berarti kuda.
Dalam hal wujud akan mustahil diterapkan prinsip logis definisi. Wujud adalah genus yang tidak memiliki spesies. Jika pun wujud dipaksakan dalam bentuk genus dan spesies, maka yang dapat dihasilkan adalah Ada yang Ada. Disini ketimbang sebuah definisi kita hanya akan berputar-putar kepada sinonim dari wujud ketimbang definisi dari wujud itu sendiri. Di antara kata-kata yang sepadan maknanya dengan wujud adalah realitas, keberadaan, kenyataan, eksistensi (Yazdi, 2022)
Kesatuan makna “Ada“
Filsafat Islam juga memiliki pasal yang menyatakan bahwa ada memiliki satu makna, betapapun ia diterapkan pada berbagai hal. Baik manusia, tumbuhan, binatang, yaitu para makhluk dengan Tuhan, semuanya menanggung makna wujud atau “Ada” yang sama. Tidak berbeda satu sama lain.
Perihal ini dikritisi oleh para teolog yang menyatakan bahwa Tuhan tidaklah sama dengan makhluk. Mustahil, kata mereka, bila Tuhan disamakan eksistensi atau kewujudannya dengan makhluk yang notabene wujudnya diberikan oleh Tuhan. Maka setidaknya mereka meyakini terdapat dua makna wujud yang masing-masing berlaku pada Tuhan dan kepada makhluk-Nya.
Para filsuf muslim kemudian menyanggah dengan mengatakan bahwa satu-satunya yang berada diluar wujud atau “Ada” hanya ketiadaan. Tidak ada yang diantara wujud dan tidak wujud melainkan hanya wujud atau tidak wujud. Maka, bila menyatakan bahwa makhluk itu wujud namun Tuhan berbeda berarti meyakini bahwa Tuhan tidaklah ada (tidak wujud). Pun kita tahu bahwa berdasar prinsip kontradiksi mustahil “Ada” dan “Tidak Ada” sama-sama terafirmasi atau ternegasi. Hanya salah satu yang mungkin benar dan mungkin salah. Sehingga, pernyataan para teolog yang bersikeras menyatakan wujud Tuhan berbeda dengan wujud manusia malah akan menyangkal wujud Tuhan itu sendiri (Gharawiyan, 2021).
Ditambahkan oleh para filsuf bahwa para teolog mengalami kerancuan karena tidak mampu membedakan antara konsep wujud atau Ada dengan misdaq atau apa yang ditunjuk dari konsep wujud itu. Bahwa makna konsep wujud hanya satu makna dan berlaku pada Tuhan dan makhluk-Nya. Namun, misdaq Tuhan dan makhluknya tentu berbeda.
Daftar Pustaka
Acikgenc, Alparslan. (2021). Being and Existence: Ada dan Eksistensi dalam Pandangan Sadra dan Heidegger. Yogyakarta: IRCISOD.
Yazdi, MT Mishbah. (2021). Kitab Filsafat: Pendekatan Komparatif Filsafat Islam. Jakarta: Sadra Press.
Gharawiyan, Mohsen. (2021). Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam: Penjelasan untuk Mendekati Analisis Teori Filsafat Islam. Jakarta: Sadra Press.
Ahmad Amin Sulaiman
Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.