Seketika manusia dewasa saat ini, menjajaki kaki di masa-masa pubertas intelektual, tak jarang menemukan diri kita sendiri ataupun orang lain tampil sebagai sosok yang penuh dengan rasa angkuh, demagog, ketamakan, rakus, hingga mentalitas mengetahui segala hal menjadi alasan untuk memandang segala percakapan menjadi perdebatan. Bukan hanya itu, riuh perdebatan kini tak tahu mana yang benar-benar tahu dan mana yang sok tahu. Semua berebut takhta vokal di tiap diskursus. Pada keadaan ini, kita pun sudah sulit membedakan mana sosok guru dan mana sosok yang menggurui.
Jamak kita mendengar nama Socrates, layaknya lampu pijar yang datang tak tahu sejak kapan ia menyala. Sepaham akan sosok dan karakter karismatiknya yang menerangi kota Athena kala itu. Ia adalah pribadi yang sangat dihormati oleh muridnya. Baik hati, jujur serta selalu memandang persahabatan sebagai tempat paling mewah sebagai ruang pembelajaran. Socrates mengartikan jalannya kehidupan sebagai pertarungan dari ketidaktahuan menuju ketidaktahuan pula, bisa kita artikan bahwa sikap “merasa” adalah penyakit yang paling akut dalam berkehidupan dan berperadaban, satu dari banyaknya itu ialah merasa paling berpengetahuan. Itu tergambarkan dalam teks Platon sebagai adagium Socrates yang selalu hadir laksana orang yang “tidak tahu”. Hanya melulu menggelontorkan buah tanda tanya di tengah orang-orang yang haus akan jawaban.
Ia adalah filsuf yang mengawali tradisi filsafat di Yunani Kuno waktu itu. Semasa hidupnya ia tak pernah punya karya berupa teks-teks Kuno. Namun ia hidup dalam penuh kesederhanaan dan kedermawanannya belajar dan saling mengajari dalam menjalani keseharian. Tentu, sikapnya pula yang akhirnya menjadikan dirinya sebagai sosok guru teladan yang diafirmasi secara tidak langsung oleh muridnya, Plato. Begitu pula kisah hidupnya kebanyakan terekam dan diabadikan dalam teks-teks kuno oleh muridnya sendiri.
Socrates lahir di Athena, Yunani. Tepat, ia menghabiskan hidupnya sejak 427 SM – 347 SM. Menutup usianya sendiri setelah menenggak minuman yang berisikan racun. Alasan meminum racun itu bisa dijumpai dalam ketidak-sepakatannya dengan sistem demokrasi, Ia diadili dengan kualifikasi suara yang beda tipis atas tuduhan palsu. Dinilai merusak pikiran pemuda kota. Sebab itu pula, akhirnya Socrates mati dalam istilah bencana kebodohan pemilihan yang hanya berisikan keterampilan bukan keutamaan diri. Namun terlepas dari itu, sosok Socrates menjalani hukumannya dengan bijaksana dengan tetap menenggak racunnya sendiri tanpa ada rasa untuk melarikan diri.
Beliau lahir dari seorang ibu yang pekerjaannya sebagai Bidan, hal inilah menjadi menarik dari Socrates sebagai salah satu dari alasan memaknai hidupnya dalam ruang yang lebih filosofis. Baginya, dirinya persis dengan ibunya, yang bekerja sebagai bidan. Perbedaannya, pemaknaan bidan oleh ibunya ialah bidan yang membantu setiap ibu di Athena melahirkan buah hati. Sedangkan bagi Socrates adalah seorang bidan yang membantu tiap orang melahirkan pengetahuannya sendiri.
Socrates selalu khas tampak dalam gaya mendidiknya dengan apa yang dinamakan dialektos atau dialog dalam tradisi Yunani Kuno, kebiasaannya berkeliling di pasar, di tongkrongan pemuda hanya untuk membuka dialog dengan pertanyaan-pertanyaan. Inilah bentuk representasi dirinya sebagai bidan di Athena.
Keutamaan Hidup Biasa Saja
Segudang rasa menjadi dorongan, membaca buku, melakukan hal-hal yang disenangi hingga menjadi jubah kebesaran hati. Seperti apa yang diterangkan sebelumnya, adalah menjadi persoalan mendasar dari tiap problematika ke-dirian, dalam terang kita kerap kali tidak tahu bahwa kita tidak tahu apa-apa. Seseorang dapat menjalani keseharian dengan kepongahan, besar kepala, besar mulut dan penuh nafsu kebinatangan. Tak perlu jauh, kerap kita lelah dalam sikap yang tak tahu dasarnya di mana.
Dalam dialog Socrates bersama Xarmides dan Kritias di sebuah palaistra (atau gymnasion), keduanya lama mendialogkan perihal pencarian maknai yang tepat atas peri soprosune atau soprosune atau tentang keutamaan keugaharian. Dialog ini kemudian menjadi konsepsi menyoal keutamaan dalam menjalani hidup. Keutamaan keugaharian disimpulkan sebagai sikap mawas diri menjadi keutamaan penting bagi tiap insan yang hendak berpolitik dalam pemaknaan yang paling luas, ialah hidup. Mawas diri yang artinya bukan tunduk, tidak juga merendahkan diri. Namun sejauh mana mampu memastikan sebelum mengawali segala tindak laku yang harus di dasari pengenalan diri sendiri, kekurangan atau kelebihan. Sehingga mampu mengontrol diri sendiri.
Dengan memiliki kemampuan mendasar berbentuk pengenalan diri sendiri atau “egrateia”, seseorang akan mampu mencapai keugaharian sebagai upaya mengontrol diri sendiri hal ini turut disadur oleh Plato. Pengontrolan diri meliputi tiga hal; Ephitumia sebagai daerah perut ke bawah, Thumos ialah dada menuju leher dan Logistikon merupakan logika yang harus memandu jalannya Ephitumia dan Thumos.
Akhir-akhir ini kita masih sering mendengar kasus pelecehan seksual seperti pada kasus Herry Wirawan yang notabene berprofesi sebagai “ustad”, juga Randy yang berprofesi sebagai “polisi” dan masih banyak seperti kasus perampokan uang rakyat, dan kerap kita menemukan diri ada di dalam titik kesombongan diri sendiri. Dalam kasus ini sesering mungkin kita melihat kasus semacam ini sebagai problem nafsu yang banal, dan dorongan primitif kebinatangan, atau apa yang bagi Socrates dan Plato sebagai Ephitumia.
Kemudian Thumos ialah sikap hasrat berlebihan, ingin dihargai, butuh pengakuan dan haus ucapan orang-orang. Dalam masa yang segala hal bisa kita peralat untuk citra diri sendiri atau sekadar meraup popularitas. Sikap-sikap ini sebenarnya cenderung baik namun ketika hal ini menjadi prioritas atau orientasi hidup kita teramat jauh dari sikap arif dan cenderung memperalat sesuatu. Demikianlah Thumos perlu untuk tetap dipandu oleh akal budi agar tetap berada di jalur yang biasa saja.
Sebagai akhir, hidup ala nabi Athena tidak lain dan tidak bukan ialah hidup yang penuh rasa tenang, tanpa kebinatangan, dan pemenuhan keinginan-keinginan rakus. Baginya, hidup hanya perlu bersandar dalam ruang paling tenang dan biasa saja, menundukkan dada hingga leher dan perut menuju ke bawah. Setiap persoalan hidup selalu dikembalikan pada persoalan jiwa yang perlu dipastikan ulang, keadaan sakit atau sehat. Maka kebajikan dan kebijaksanaan itu tak mungkin ada ketika logostikon tidak mampu mengintropeksi Ephitumia dan Thumos, dengan itu kebahagiaan akan kita genggam segera.