Anti-Komunisme telah berkembang menjadi narasi yang sengaja dirawat dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Gerakan ini dimulai selepas Indonesia memasuki kepemimpinan Orde Baru atau Pasca ‘65. Rekam jejak sejarah masih problematik hingga detik ini, terutama yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September 1965, ialah penculikan tujuh pemimpin senior Angkatan Darat, tersebut Jenderal Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan, dan S. Parman; serta pembantaian anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di berbagai daerah. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP) mengklaim bahwa tiga juta jiwa menjadi korban dalam pembantaian tersebut.
Di tengah simpang-siurnya kebenaran sejarah tragedi ‘65, muncul beragam versi mengenai dalang dari terjadinya rangkaian peristiwa tersebut. Salah satu efek dari beragam versi tersebut ialah reproduksi pengetahuan Anti-Komunisme, yang menjadi produk kebudayaan yang “mahal” pada tahun-tahun selanjutnya setelah ‘65. Salah satu aspek penting yang menjadi doping dalam kontribusi pembangunan narasi Anti-Komunisme ialah pengembangan ideologi Anti-Komunisme. Hasil dari reproduksi pengetahuan anti-komunisme selanjutnya menjadi kampanye kebudayaan melalui beberapa bidang di antaranya: pendidikan, sejarah, film, sastra. Hal ini juga dikembangkan melalui beberapa cara seperti dukungan besar bagi golongan kanan dan pemberangusan literatur yang dinilai berhaluan kiri.
Selanjutnya, masifikasi narasi Anti-Komunisme berlangsung sistemik. Ia tumbuh dari narasi mengenai kekejaman dan ketakutan yang dilakukan oleh para simpatisan komunisme, serta pertentangan materialisme dalam komunisme dengan ajaran agama. Irisan pertentangan komunisme ini terekam dengan jelas pada November 2000 di saat dilaksanakannya penggalian tulang belulang 26 korban ‘65 di Wonosobo. Sebuah proses pemakaman ulang korban pembantaian massal untuk mewujudkan pengebumian yang semestinya di Desa Kaloran. Upacara pemakaman ulang yang diinisiasi oleh YKYP 65 ini dihalangi oleh Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Mereka menghancurkan tulang belulang korban serta mengancam seluruh pihak yang terlibat (Zurbuchen, 2002). Bahkan, mereka menuding YKYP sedang mempromosikan kembali komunisme.
Bangkitnya liberalisme di Indonesia
Gerakan anti-komunisme di Indonesia tidak terlepas dari Perang Dingin yang berlangsung sejak tahun 1947. Untuk memahami konteks perang tersebut, perlu diketahui bahwa di dalamnya, terkandung pertarungan ideologi; antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kala itu memperebutkan pengaruh sebesar mungkin terhadap negara-negara lain, termasuk negara berkembang seperti Indonesia saat itu. Liberalisme hidup di balik kepentingan Amerika Serikat, sedangkan komunisme hidup di balik bayang-bayang Uni Soviet. Indonesia yang pada masa tersebut berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, mengambil posisi Gerakan Non-Blok atau dikenal dengan istilah GNB.
Selanjutnya dalam konteks Indonesia pasca 1965, Wijaya Herlambang menuturkan bahwa terdapat keterlibatan CIA dalam pembangunan kebudayaan liberal di Indonesia (Herlambang, 2014). Liberalisme di Indonesia juga dikenal sebagai humanisme universal. Ia dihidupi sebagai nilai ideologis dan artistik melalui pendekatan budaya, ekonomi, dan politik; seluruhnya diupayakan untuk membangkitkan gerakan anti-komunisme.
Terdapat beberapa kecurigaan bahwa arus wacana kebudayaan pasca ‘65 sengaja digiring untuk berorientasi pada dunia Barat. Dalam ekonomi-politik, liberalisme identik dengan politik sayap kanan yang mendorong hadirnya pasar bebas dan perdagangan bebas, termasuk segala kekhasan kapitalistik yang dapat menentang ideologi komunis. Hingga hari kebudayaan tersebut berkembang, didukung oleh merajalelanya oligarki, dan kita tiba di hadapan ketidakjelasan arah bangsa. Inilah implikasi praktis dari tumbuh-suburnya ideologi liberalisme dalam berbagai aspek.
Menurut penulis, penghancuran komunisme di Indonesia jelas dibangun di atas fondasi ideologi liberalisme. Propaganda sebagai sistem yang dibangun, ditujukan salah satunya sebagai agenda penyebarluasan liberalisme, dan selanjutnya sebagai upaya mengkambing-hitamkan seluruh hal yang berkaitan dengan komunisme dalam Gerakan 30 September (G30S), serta, melegitimasi pembantaian.
Herlambang selanjutnya menyatakan bahwa ideologi liberalisme kebudayaan di tahun 1960-an menjadi penting karena ideologi ini tidak saja memberangus ide-ide kiri, tetapi juga untuk menyokong pembentukan wacana budaya yang mengacu pada dunia Barat. Ideologi ini juga berkaitan erat dengan kepentingan politik-ekonomi jangka panjang dunia Barat, khususnya Amerika Serikat (Herlambang, 2014).
Kekerasan Budaya Anti-Komunisme
Ulasan sebelumnya merupakan gambaran sekilas tentang ideologi yang berkembang hingga hari ini di Indonesia. Ideologi yang juga memiliki peranan penting dalam menyusun wacana-wacana lain yang tumbuh berkembang. Satu hal yang perlu disepakati dalam pembahasan ini adalah bahwa bahasa bukan merupakan sesuatu yang ditemukan, tetapi tumbuh daripada konstruksi sosial. Dalam konteks pembahasan kita, anti-komunisme termasuk dalam bahasa yang terkonstruksi tersebut.
Kata anti-komunisme, hadir sebagai satu hal yang dengan sengaja gunakan dengan makna dan tujuannya sendiri. Pertama, kata ini digunakan untuk membenarkan pembantaian massal masyarakat yang tergabung atau teridentifikasi (misalnya sebagai simpatisan) bersama PKI sebelum tahun 1965. Kedua, ialah berguna untuk penyebarluasan ideologi liberalisme atau imperialisme ala barat di Indonesia. Kata ini sesuai dengan analogi membunuh satu untuk menjadi penguasa tunggal.
Slavoj Zizek dalam karyanya, On Violence menerangkan bahwa makna kekerasan terbagi menjadi tiga: ialah subjektif, objektif, dan sistemik. Kekerasan subjektif adalah kekerasan yang terjadi secara fisik atau kasat mata misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan objektif adalah kekerasan yang terjadi tidak kasat mata. Kekerasan ini beroperasi pada tataran produk budaya melalui tatanan simbolik. Yang ketiga ialah kekerasan sistemik yang terjadi secara tidak kasat mata melalui tatanan simbolik dalam produk budaya yang irrasional (Zizek, 2008).
Kekerasan yang terjadi pada kampanye anti-komunisme pasca ‘65 memenuhi indikator kekerasan subjektif dan sistemik. Dapat dikatakan demikian karena pembantaian terjadi secara fisik. Dan mengikuti setelahnya, berbagai penangkapan, pengasingan, pembakaran buku, hingga program-program nasional seperti pemutaran film Penghianatan G30SPKI. Perlu dipahami bahwa kekerasan bisa terjadi dengan menyangkut bebarapa aspek, tersebut; kekuasaan (Power), kekuatan (strength), daya atau pakasaan (force); otoritas (authority).
Keberhasilan rezim tertentu di Indonesia dalam membangun budaya anti-komunisme –bisa dikatakan sukses– menghasilkan antipati dan ketakutan berlebihan pada tubuh masyarakat atas komunisme. Ketakutan yang sangat mungkin hadir sebab the real (potongan kecil realitas) dikonstruksi sehingga bersifat imajiner dalam kesadaran masyarakat, the real ini menjadi object petit a (sesuatu yang tidak ada tapi dianggap ada).
Ketakutan dan antipati ini merupakan hasil dari kekerasan budaya yang sistemik. Kekerasan yang dihidupkan melalui film dan bentuk kebudayaan lain. Kekerasan yang bahkan dirawat dengan mempertentangkannya dengan ajaran agama, sistem kebudayaan yang dalam “Buku Putih”, dinyatakan turut melanggengkan anti-komunisme secara simbolik dengan memposisikan siapapun ia, selama komunis berarti merupakan penjahat, pembunuh, iblis, dan biang masalah.
Terdapat subjek semu, di mana sikap masyarakat di satu sisi masih membenarkan pembantaian jutaan nyawa sesama manusia, prahara yang telah diketahui banyak orang, namun memiliki akar yang hingga saat ini masih simpang siur. Dan masifnya propaganda anti-komunisme menjadi contoh permasalahan kemanusiaan yang dinormalisasi dan dibenarkan, dilegitimasi melalui kebudayaan. Zizek menyebut fenomena ini dalam pernyataan, for they know not they do.
Kekerasan budaya berkembang secara sistemik, menjadikan kebiasaan dan standar nilai masyarakat Indonesia terkonstruksi secara berkala. Setiap September ketakutan dirawat dan pembunuuhan sesama dibenarkan. Dengan dorongan dari sejarah kita yang terdistorsi, maka pertanyaan terpenting dari pemberangusan literatur kiri, pembredelan media, pelabelan keluarga tahanan politik adalah apakah kekerasan budaya yang sistemik ini akan terus berlangsung?
Mengakarnya budaya anti-komunisme di Indonesia menjadi gambaran bagaimana kekerasan sistemik telah berperan penting sebagai basis utama dalam melegitimasi pembantaian dan penyebaran ideologi lain yang juga bertentangan di Indonesia. Keduanya terjadi berkala, mula-mula secara fisik, dan selanjutnya tak kasat mata. Kekerasan sistemik perlu dipahami sebagai bentuk kekerasan yang bekerja melalui bangunan relasi subjek-objek dan kesadaran masyarakat.
Referensi
Herlambang, W. (2014). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Zizek, S. (2008). On Violence. London: Verso.
Zurbuchen, M. (2002). The Legacy of Violence in Indonesia. Asian Survey , Vol. 42 No.4.