Tiap harinya seseorang menjalin komunikasi dengan orang lain, mulai dari saling menyapa hingga beradu pendapat mengenai suatu topik. Entah di rumah, pasar, hingga pinggiran jalan. Kita juga sering menyaksikan seorang politikus atau tokoh masyarakat yang mengemukakan ketidaksetujuannya di sebuah acara teve mengenai suatu fenomena. Ada pula yang beradu pendapat hingga saling caci memaki, bahkan sampai menghantam meja dengan keras. Semua itu adalah pemahaman kita tentang argumentasi atau perdebatan.
Apakah adu argumentasi selalu berakhir demikian? Brutal dan tidak beradab? Jawabannya adalah tidak. Kita dapat membangun iklim perdebatan yang sehat dan rasional. Perdebatan apapun apabila kita tidak mengindahkan kebenaran dan rasionalitas akan cenderung berakhir pada adu hantam. Sebagian besar dari kita cenderung untuk membela apa yang kita yakini, ini yang disebut sebagai bias konfirmasi. Kalau seseorang merasa dirinya tahu dan punya alasan (yang meskipun masih belum jelas atau tidak kuat), bias dan fallacy akan sulit ia hindari.
Untuk membuat kita tidak terjatuh pada kebiasaan adu mulut yang tak berkesudahan, kita perlu memahami apa itu argumen dan argumentasi, serta apa manfaat utamanya.
Argumentasi adalah jajak pendapat antara dua orang atau lebih. Sedangkan argumen adalah apa yang dilontarkan saat berargumentasi. Argumen pada dasarnya berbeda dengan ungkapan sederhana seperti: “Diet berbasiskan tanaman dan buah-buahan tidak sesehat diet berbasis hewani.” Argumen juga bukan hanya sebuah kompilasi dari ungkapan sederhana, namun ia memiliki struktur logis. Dengan memperhatikan struktur logis tersebut, kita akan dapat menilai kesahihannya. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua argumen yang sahih itu benar (pembahasan mengenai kesahihan masih diperdebatkan dalam filsafat logika, saya tidak akan memaparkannya di sini).
Suatu argumen selalu disusun oleh premis dan kesimpulan. Kesimpulan adalah pernyataan yang berusaha untuk dibenarkan. Sedangkan premis adalah pernyataan yang dijadikan sebagai pembenaran bagi kesimpulan. Dengan kata lain, premis adalah alasan bagi kesimpulan dikatakan benar. Seperti yang telah disampaikan di atas, suatu argumen dapat sahih meskipun kesimpulannya benar tetapi premisnya salah.
Mari kita lihat contoh argumen dalam bentuk silogisme kategoris di bawah ini:
Tidak ada pahlawan yang pengecut. Beberapa prajurit adalah pengecut. Oleh karena itu, beberapa prajurit bukanlah pahlawan.
Argumen di atas tersusun dari kesimpulan yang berbunyi “Beberapa prajurit bukanlah pahlawan”, dan dua premis yang berbunyi “Tidak ada pahlawan yang pengecut” dan “Beberapa prajurit adalah pengecut”. Bahwa ada beberapa prajurit yang bukan pahlawan dibuktikan atas asumsi tidak adanya pahlawan yang pengecut dan ada beberapa prajurit yang pengecut.
Argumen tidak hanya dalam bentuk silogisme kategoris, mari kita perhatikan argumen berikut:
Mengenakan masker dan menjaga jarak adalah upaya terbaik untuk dilakukan. Lebih banyak orang yang terpapar Covid-19 gara-gara tidak mengenakan masker dan menjaga jarak.
Argumen di atas tersusun dari kesimpulan yang berbunyi “Mengenakan masker dan menjaga jarak adalah upaya terbaik untuk dilakukan” dengan premis “Lebih banyak orang terpapar Covid-19 gara-gara tidak mengenakan masker dan menjaga jarak.” Lebih banyak orang yang terpapar Covid-19 akibat tidak mengenakan masker dan menjaga jarak menjadi pembenaran bahwa sebaiknya kita mengenakan masker dan menjaga jarak. Argumen ini tidak bersifat deduktif seperti contoh silogisme di atas, melainkan berbentuk induktif.
Secara umum, argumen dibedakan secara deduktif dan induktif, namun ada bentuk lain seperti abduktif yang masih berasaskan induktif. Perdebatan tidak melulu diwarnai oleh satu bentuk argumen saja namun bisa saja beragam, terkadang deduktif lalu di lain waktu induktif. Memahami suatu argumen dari bentuknya memang lebih rumit dibandingkan menilai kebenaran kesimpulannya. Namun, dengan cara memahami bentuk, kita dapat mengetahui cara mengujinya.
Seorang logikawan (label bagi para akademisi yang melakukan penelitian dalam bidang logika) menguji suatu argumen berdasarkan bagaimana kesimpulan ditarik dari premis dan mengapa ia sahih atau tidak sahih. Logikawan tidak terlalu berminat pada apakah suatu pernyataan pada realitanya benar atau salah, mereka tertarik dengan pola penyimpulannya (validitas). Lalu bagaimana dengan kita sebagai non-logikawan?
Kita tertarik pada kebenaran suatu argumen. Ini adalah kesalahpahaman umum. Argumen tidak dapat dinilai benar atau salah, melainkan kesimpulan dan premis lah yang dinilai demikian. Argumen hanya dapat dinilai sahih atau tidak sahih; kuat atau tidak kuat. Apabila kesimpulan ditarik secara deduktif atau induktif berdasarkan premis yang benar kita dapat memegang argumen tersebut, dan sebaliknya.
Dalam jajak pendapat yang rasional, kita terlebih dahulu mengevaluasi apakah premis yang kita yakini benar-benar dapat menjadi landasan dari kesimpulan kita. Semisal, kita tidak sepakat dengan suatu kesimpulan orang lain yang mengatakan “Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang berbasiskan keikutsertaan siswa”, namun ketidaksepakatan kita terhadap kesimpulan tersebut didasarkan atas premis “Dia bukan guru dan siapapun yang bukan guru tapi berbicara mengenai pendidikan pastilah salah”. Apabila kita meninjau premis tersebut, argumen kita akan lemah sebab hanya karena seseorang yang bukan guru tapi berbicara mengenai pendidikan tidak serta merta membuat kesimpulannya salah. Kita perlu mendengar premisnya dengan baik dan menghargai pikirannya.
Memahami apa itu argumen dan sifat-sifatnya dapat membantu kita dalam menyusun pemikiran yang jernih dan terpilah. Kita akan lebih menilai secara adil dan kritis terhadap argumen orang lain. Apabila suatu argumen yang kita temukan ternyata lemah, tunjukkan di mana kelemahannya. Tunjukkan mengapa kesimpulannya tidak dapat dipertahankan. Dengan demikian, kita akan membentuk suatu lingkungan perdebatan yang rasional dan membangun.
Iklim perdebatan rasional hanya dapat didorong apabila kita tidak enggan mendengar argumentasi orang lain, menguji kelemahan dan kelebihannya, dan melepas kepercayaan diri yang begitu berlebihan dalam memegang suatu kepercayaan dan pegangan.
- 11/04/2018
- 16/07/2018
- 17/10/2018