Apa itu kebudayaan? Apa yang disebut sebagai massa? Beragam versi menyusun pendefinisian perihal kebudayaan dan massa. Massa dapat berupa sekumpulan, terlebih dalam tradisi ilmu fisika, massa adalah ukuran dan jumlah materi dalam suatu medan. Lalu bagaimana dengan kebudayaan? Hal ini bisa diartikan sebagai praktik sosial yang berjalan di tengah-tengah masyarakat plural, di mana tetap ada keseragaman di dalamnya.
Sepintas lalu, manusia membangun, menata satu demi satu harapan masa depan demi mewujudkan indahnya kehidupan modern, ialah yang berdampingan dengan kecepatan mesin dan teknologi. Banyak hal kian mudah, turut sekelebat ada pada genggaman manusia. Namun tanpa disadari, perlahan eksistensi manusia mengada dalam kacamata produk budaya massa, ialah budaya popular yang mengalami peng-objekkan total. Kini manusia tak berbeda dengan ternak yang tetap menyantap habis makanan yang diberikan oleh pemiliknya.
Terdapat lubang hitam dalam modernitas dan era pencerahan. Anthony Giddens mendefinisikan modernitas dan konsekuensinya, pertama ialah kapitalisme, yang dicirikan oleh produksi komoditas, kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang tidak memiliki hak, dan sistem kelas yang berasal dari karakteristik materialis. Yang kedua adalah industrialisme, yang terdiri dari penggunaan sumber kekuasaan tak bernyawa dan mesin untuk memproduksi suatu barang. Industrialisme tidak terbatas pada tempat kerja, dan ia memengaruhi pengaturan lain, seperti transportasi, komunikasi dan kehidupan rumah tangga (Giddens, 1990: 56).
Betapa menyedihkannya hidup dalam tirani modernitas tanpa adanya sikap kritis. Eksistensi dipasung di hadapan hasrat material, di mana kendali nafsu dan seisi kepala telah dibajak oleh sistem yang terkonstruksi. Kini wajah manusia tak tahu apa yang tengah dihadapinya. Manusia modern “diternak” oleh kuasa melalui apa yang dinamakan sebagai budaya massa atau kebudayaan popular masa kini.
Kolaborasi Mutakhir
Satu hal yang menjadi tumpuan dalam masa modern, adalah bahwa masa modern berpegang teguh pada nilai kehidupan baru yang sengaja dibangun, untuk kemudian dipercaya sebagai satu-satunya pegangan hidup. Nilai baru menjadi alat paksa masyarakat dengan istilah modern itu sendiri. Segala yang modern dinilai menyenangkan, memajukan, memudahkan, menyegarkan, meningkatkan martabat, mencerdaskan, dan mendatangkan rupa keuntungan bagi siapa saja yang menganut nilai modern.
Tak hanya itu, modernitas turut menggandeng capaian perkembangan zaman, seperti kemajuan teknologi yang canggih. Bersinggungan dengan hasil mutasi terbaru kapitalisme, kemudian terbentuk budaya massa kapitalis. Budaya massa hadir seiring dengan pabrik-pabrik yang memproduksi produk (goods) budaya standar, seperti gaya hidup. Inilah yang kemudian menjadi kolaborasi mutakhir menjadi dominasi produk budaya dalam kesadaran palsu masyarakat.
Industri budaya, berupa hasil silang dari teknologi, dan produk budaya dalam konteks kapitalisme adalah kolaborasi yang cukup hebat dalam beberapa dekade terakhir, semua dirangkai dalam konsepsi industrialisasi dan teknologisasi kemajuan zaman. Sebab ketiga hal tersebut mampu mengakomodir seluruh kemungkinan kerakusan manusia untuk masuk pada perangkap kapitalisme ialah konsumerisme.
Beberapa hal yang menjadi dasar persoalan ialah, industri budaya, perkembangan teknologi, fetisisme komoditas, dan kebutuhan palsu yang seluruhnya dikapitalisasi oleh gaya baru. Semua budaya massa dibangun di atas monopoli demi mengonstruksi persepsi masyarakat agar seragam.
Fetisisme komoditas bergantung penuh pada massifikasi media sosial sebab, media sosial adalah sarana promosi yang paling efektif. Fenomena influence mampu menjadi perantara antara brand dengan konsumen. Sementara itu, dalam massifikasi media sosial memiliki fetisisme tersendiri yang didukung penuh oleh sikap masyarakat dalam dunia modern dan terlalu mengidolakan beberapa tokoh sebagai acuan hidupnya, terutama gaya hidup dalam masyarakat.
Berlari di Atas Roda Produksi
Dalam kajian kebudayaan, Theodor W. Adorno merumuskan perihal Commodity Society di mana kebudayaan sengaja dibuat untuk menghasilkan suatu produk demi membawa massa (masyarakat) dalam praktik sosial yang terhegemoni pada skema yang sengaja dibuat demi memenuhi kebutuhan pasar. Antonio Gramsci juga turut mendukung tesis Adorno bahwa hegemoni mampu bekerja dalam keseharian melalui semua alat dan infrastruktur yang ada. Penindasan hegemoni terjadi setiap waktu.
Kebudayaan massa masa kini, kerap diartikan sebagai produk industri budaya seperti budaya populer yang lahir dari kemajuan modernitas dan teknologi. Selain dari itu, kebudayaan massa hadir dan memaksa tiap masyarakat untuk masuk dalam pusaran secara tidak sadar, dicekoki melalui media berkembang, serta dijahit melalui standarisasi gaya hidup. Hal ini tidak terlepas dalam kritikan Jean Baudrillard pada Simulacra and Simulation Kapasitas berpikir secara rasional telah diinstrumentalisasikan untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan yang memegang kontrol.
Potret Lifestyle is opium of the masses, terangkum dalam budaya pop. Menjamurnya kafe, film, fesyen, atau pola hidup seakan mampu memberikan eksistensi tersendiri bagi tiap penikmatnya. Budaya ini tentu sifatnya periodik dan berlangsung melalui tren serta influence.
Di sisi lain menurut George Simmel, konsumen bukan lagi audiensi pasar yang pasif, melainkan sudah menjadi kelompok konsumen yang dinamis, yang menginginkan keunikan tersendiri walaupun keunikan tersebut tetap saja merupakan bagian naratif dari pasar itu sendiri. Dalam perkembangan kapitalisme lanjut, demi kepentingan Massification of Product, konsepsi produksi dan reproduksi tidak lagi mengacu sepenuhnya terhadap pasar. Produk mampu menentukan k masyarakat dan kepatuhan sosial hingga pada titik ini masyarakat hanya menjadi representasi komoditas.
Dalam istilah Budi Hardiman, konspirasi kapitalisme melalui budaya popular (Hardiman, 2003:34) adalah kondisi di mana manusia dipaksa berpartisipasi aktif untuk mengikuti produk budaya massa. Manusia berada dalam jebakan dan dikurung dalam pusaran pemujaan pada produk sehingga mereka menjadi pasif, lemah dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi. Eksploitasi manusia sudah tidak berjarak dengan kehidupan manusia, dan satu-satunya pegangan untuk mempertahankan otentisitas diri adalah dengan tetap sadar. Problem kesadaran kritis dapat dibangun dengan memahami realitas konkret. Apabila kesadaran pasar terus berkacamata kuda, pun nasib manusia modern akan tiba pada titik jenuh yang hebat, karena terus berlari di atas roda produksi yang melelahkan.
Referensi
Giddens, Anthony. (1990). The Consequences of Modernity, Stanford, California: Stanford University Press.
Adorno, T.W. & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of Enlightenment. California: Stanford University Press. Hardiman, F. Budi. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.