Plato mendeskripsikan Diogenes sebagai a Socrates Gone Mad. Meskipun julukan ini terdengar sedikit kasar, tetapi julukan tersebut tidak terlalu jauh dari kenyataan hidup Diogenes. Bagaimana tidak, ia mendambakan kebijaksanaan layaknya Socrates namun dengan jalan yang jauh lebih ekstrim. Ia memutuskan untuk hidup di jalan, hidup seperti anjing, dan berusaha melepas diri dari segala bentuk konvensi atau nilai dan norma yang berlaku umum. Bahkan ia memilih tinggal dalam sebuah teko besar, hidup apa adanya seperti seorang gelandangan. Ia bahkan seringkali berkelililing di jalanan, sambil berkata “looking for an honest man”, sebagai kritiknya terhadap pemikiran Plato yang menurutnya abstrak dan bertentangan dengan jalan kebenaran dari Socrates. Karena gaya hidup yang pada masa itu menyerupai anjing, tidak salah jika ia dijuluki sebagai Socrates gone mad.
Diogenes merupakan seorang filsuf yang berpegang teguh pada jalan hidup asketik yang berasal dari filsafat etika Socrates. Ajaran ini diperoleh dari gurunya yang bernama Anthisthenes, yang merupakan murid dari Socrates yang umurnya sekitar dua puluh tahun lebih tua daripada Plato. Dia adalah pemikir pertama yang dikenal sebagai “Cynics” (sinis), yang berarti “dog like” (seperti anjing). Sinis secara umum, berarti jalan hidup yang menolak semua forma adat istiadat dan budaya dan hidup dalam kebebasan alamiah. Sinisisme ini selanjutnya berpengaruh terhadap ajaran-ajaran etika, seperti yang kita kenal dalam branch filsafat stoisisme. Kesetiaannya pada keutamaan dan kebebasan moral ini membuat Diogenes dikenal sebagai filsuf sederhana, dan gagasannya dapat dimaknai dan dipraktikan dalam semangat hidup asketis.
Diogenes sangat memegang teguh ajaran etika dari Socrates. Mencari sebuah kebenaran sebagai tujuan utama, dan praktik sebagai prinsip yang jauh lebih utama daripada sekedar kata-kata. Mengerti setiap tindakan menjadi sangat penting, karena manusia selalu mengalami proses berkelanjutan untuk “menjadi”. Namun, seringkali kita terjebak oleh logika umum, sehingga kita tidak lebih hanya mengikuti tren tanpa merasionalkan terlebih dahulu konsekuensi atas tindakan tersebut. Oleh karena itu, keteguhan pendirian Diogenes yang kuat dalam pikiran dan tindakan tersebut, menjadikannya sebagai orang yang cukup disegani di Athena, bahkan disejajarkan dengan para filsuf lainnya.
Asketis berarti menjauh dari dunia, mendekatkan diri pada pemurnian jiwa. Dalam agama, disebut berpuasa. Berpuasa bermakna bukan hanya menjauhkan diri dari makanan, namun juga menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi demi tujuan jangka panjang. hidup dalam kesederhanaan dan memegang teguh prinsip-prinsip etika dengan mengutamakan kebaikan jiwa. Hal ini penting agar manusia tidak terikat dengan apa yang ada di luar lingkungan dirinya. Oleh karena itu, hidup asketis berarti menjalani latihan hidup yang tidak terikat oleh dunia.
Dalam realitas sehari-hari kita seringkali dihadapkan dengan situasi mengikat diri hanya karena menuruti emosi dan ambisi. Tidak membaca situasi terlebih dahulu, yang pada akhirnya akan berujung pada ketersia-siaan dan keputusasaan. Oleh karena itu, menjalani hidup asketis juga berarti melatih diri untuk mencapai kebebasan. Yaitu kesanggupan manusia untuk memilih dan menentukan diri.
Seorang yang dikenal dengan pertapa sering kali pergi ke dalam hutan untuk mencari kesunyian, dan kesendirian untuk merefleksikan diri. Berkontemplasi atau berdialektika dengan diri secara mendalam. Diogenes tidak mengasingkan diri seperti itu, ia hidup di tengah kota di dalam sebuah tong besar, tidur dan makan di dalam tong tersebut. Ia dikelilingi anjing –anjing disekitarnya. Dalam sebuah aforisme, Diogenes mengatan, “he has the most who is content with the least” (orang yang paling kaya adalah orang yang paling nyaman dengan kepemilikan yang paling sedikit). Artinya bahwa, kekayaan materi menurutnya adalah permasalahan kuantitas, jika diinginkan sebagai tujuan hidup, maka tidak akan pernah terpenuhi. Kekayaan sejati bisa diraih dengan melatih diri untuk selalu merasa tercukupi dengan pertimbangan berdasarkan akal budi, bukan dorongan emosi dan hasrat materi. Artinya bahwa, jika manusia menerima kesederhanaan hartanya saat ini, maka ia sudah hidup dalam kekayaan.
Sebagai seorang sinis, Diogenes percaya bahwa tradisi filsafat hanya bisa dibangun melalui konsistensi antara praktik, dan arahan yang tepat berlandaskan akal budi. Seringkali ia mendapatkan dirinya dipanggil sebagai seorang budak, gelandangan, dan sebagainya. Namun bagi Diogenes itu bukan masalah. Justru bermula dari hinaan inilah dialektika dan pengajaran diberikan olehnya. Ia menjelaskan, misalnya, bahwa “Lions are not the slave of those who feed them, but rather whose who feed them are at the mercy of the lions”. Sindiran atas realitas seperti inilah yang membuat Diogenes tetap dihormati dan disegani oleh para pengikutnya. sehingga, jika disejajarkan dengan para filsuf lainnya, gagasan Diogenes lebih dikenal dari aforismenya daripada buah fikiran yang metodis dan sistematis.
Tidak ada karya yang tersisa dari fikiran Diogenes. Apa yang diinginkan olehnya hanya hidup dalam pencarian kebijaksanaan, mengurangi hasrat pada kenikmatan duniawi, dan sebisa mungkin hidup dalam lingkungan penuh kesederhanaan. Dengan demikian, pencarian eudonomia bukan berasal dari luar, tapi internal manusia sendiri. Keseharian diri yang tak terlepas dari kodrat alam, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Suatu saat, dia melihat serang anak muda sedang meminum air menggunakan tangannya di sungai, ia kemudian membuang satu-satunya mangkuk kayu yang digunakannya setiap hari, “A child has beaten me in a plainness of living.” Begitulah bahagia dalam kesederhanaan dalam ajaran sinismenya.
Bersahabat dengan kebebasan. Begitulah kurang lebih sebutan yang pantas disandingkan untuknya. Memang, lingkungan masyarakat, faktor psikis, biologis, dan keyakinan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Namun, bukan berarti kehidupan manusia seluruhnya dideterminasi oleh faktor tersebut. Dalam pandangan determinisme, kebebasan bukan merupakan hakekat terdalam manusia. Setiap keputusan dan tindakan selalu ditentukan oleh faktor lainnya. Akhirnya kebebasan manusia adalah sebuah keharusan yang bersifat deterministik. Sedangkan disini, kebebasan berarti penyempurnaan diri, kesanggupan untuk memilih dan menentukan, serta kemampuan mengungkapkan berbagai dimensi kehidupan. Artinya, manusia berada sebagai makhluk otonom yang menentukan pilihan dari internal dirinya, sadar akan pilihannya karena ia adalah makhluk rasional yang selalu menyertai akal budi dalam setiap pertimbangan dan tanggung jawabnya. Dengan demikian, kebebasan diasosiasikan dengan eksistensi manusia.
Oleh karena itu, atas sumbangsih dalam menanamkan kesadaran moral di tengah masyarakat Athena dan pengikutnya, kita kini sampai pada tahapan makna kebebasan dalam pandangan sinisme klasik dan dapat memetik pelajaran darinya. Pelajaran tersebut di antaranya: Pertama, kemandirian. Dalam poin ini, mencapai level kedirian tertinggi dapat berarti hidup tanpa tergantung oleh apapun diluar lingkungan dirinya. Selalu merasa cukup dengan diri sendiri. Terdengar sederhana, tapi sulit dilakukan. Kebebasan dalam pengertian positif, yakni kemampuan untuk menentukan diri dan tidak terikat oleh apapun di luar diri. Dalam aforismenya, Diogenes mengatakan bahwa, “we have complicated every simple gift of God.” Artinya, manusia selalu membuat rumit setiap pemberian tuhan dalam hidup yang sebenarnya sederhana. Hal ini dalam pandangan sinisme hanya bisa diraih melalui kesederhanaan, dan hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja.
Kedua, kebebasan bertindak. Meliputi kesadaran moral dalam setiap tindakan tanpa dipengaruhi oleh segala bentuk obligasi dan afiliasi politik. Ketiga, kebebasan berbicara. Merupakan pengungkapan kebenaran yang tulus yang ia ketahui memang benar, dan terdapat koinsidensi yang presisi antara kepercayaan dan kebenaran.***
- 27/10/2019
- 24/12/2019
- 08/05/2020
- 11/11/2020